Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pinang Ojek Hingga Meminang Gadis (Bag.1)

28 Juli 2022   09:04 Diperbarui: 28 Juli 2022   09:44 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stiker larangan "makan" Pinang di sembarangan tempat dapat ditemukan pada banyak instansi di Papua. Antara  lain di Bandara Sentani (Dokpri)

Saya selalu ingat Pulau Sumba di NTT, tempat kelahiran saya,  kalau sedang berada di Papua. Ketika melihat orang makan sirih-pinang.

Hampir semua kawasan di Papua yang sudah saya datangi, warganya makan sirih-pinang. Sebab itu di kantor-kantor pemerintah atau lembaga swasta ada tulisan "Dilarang buang ludah pinang di sini". 

Ambil contoh di RS Dok II di Jayapura,  RS Dian Harapan,  Bandara Sentani, Mall Ramayana di Abepura, dll! Juga dalam sebuah pesawat kecil dari Sentani ke Wamena yang kami carter, ada larangan itu. 

Bedanya, di Papua orang hanya mengupas kulit ari buah pinang (yang berwarna hijau atau kuning itu) dan langsung mengunyah kulit dalam beserta  isinya sebelum dicampur buah sirih dan dicocol kapur. Sementara orang Sumba mengupas kulit pinang, mengambil isinya, baru dikunyah bersama sirih dan dicocol kapur.

Hasilnya sama-sama merah.

Pembeda lainnya adalah, saya belum pernah lihat orang Papua makan pinang dengan daun sirih. Sementara di Sumba ini hal biasa, meskipun karena kepepet tak ada buah sirih. Saya juga belum pernah lihat orang Papua makan pinang pakai pinang kering, yang sudah diiris tipis. Kalau di Sumba, lebih banyak pakai pinang kering.  

Sebab makan pinang sudah menjadi kebiasaan, di Papua ada beberapa istilah terkait ini. Antara lain "makan buang". Artinya kunyah sirih-pinang  dan sepahnya dibuang. Setelah enaknya habis, sepahnya dibuang. Kemudian makan lagi. 

Atau istilah "kepala makan pinang",  bagi yang begitu gemar makan pinang. Sampai-sampai makan sirih-pinang sudah semacam doping pembangkit semangat. Kalau dia belum makan pinang, ia tampak suntuk-letih-lesu.  

Ada pula istilah "pinang ojek". Kalau yang ini adalah versi ekonomis-praktis makan pinang: Sebutir pinang, sebatang sirih dan sedikit kapur dipaket jadi satu dalam plastik,  dijual Rp 5.000. Sebab sekumpul pinang yang terdiri atas 3-4 butir dan dua batang sirih serta kapur,  dijual rata-rata seharga Rp10 ribu. Lebih mahal lagi kalau masa paceklik pinang. Pas bukan musimnya.

Yang saya tulis ini hanya "kulit luar" dari makan pinang. Sebab orang Papua memiliki filisofi tersendiri. Ada relasi dan persahabatan di dalamnya. Juga kontroversi atasnya, yakni larangan oleh segelintir gereja sebab makan sirih pinang dinilai seperti memasukkan si jahat ke dalam tubuh. Seperti merokok. Entah si jahat yang mana?

Tetapi di Kodi ketika kami kecil dahulu, memang harus berhati-hati kalau habis makan siang atau malam, dan para orang tua belum mengunyah sirih-pinang. Bisa jadi sasaran marah. Atau diperintahkan untuk segera berlari ke tetangga minta sirih-pinang. Atau memetik daun sirih bagi mereka. Sebab kalau tidak, nasi bisa dimuntahkan kembali. Seperti kalau orang mual-mual habis makan ikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun