Saya bukan orang pertama yang menulis tentang F.X Sudanto (81). Yang dijuluki "dokter Seribu" di Jayapura. Yang kliniknya berada di Putaran Abepura. Di belakang Kantor Pos. Sekarang "tarif"nya minimal Rp 2.000. Pecahan rupiah "terkecil" yang kalau kita buang tak akan membuat menyesal. Dokter Sudanto orang Karanganyar, Kebumen, Jawa Tengah. Ia lahir di sana tahun 1941.
Saya datang ke kliniknya pada suatu hari. Sebab ia narasumber saya ketika menulis sejarah RS Dian Harapan di Waena. Dalam rangka 25 tahun rumah sakit ini. Gara-gara wawancara 20 menit itu, pas keluar pintu ruang praktiknya, saya diomelin pasien yang sudah mengular di luar.
"Pace Jawa ini lama sekali, ka periksanya," ujar mereka. Mereka pikir saya orang Jawa. Padahal bukan.
 Waktu ia bertugas di Asmat pada 1975 (entah seperti apa Asmat ketika itu?), ia lalu-lalang antara Agats dan Bayun. Agats masih distrik. Sekarang sudah menjadi kabupaten sendiri. Bahkan sudah menjadi anggota Provinsi Papua Selatan. Provinsi yang baru dibentuk. Â
Tentu saja dr.Sudanto pakai perahu. Soalnya tak ada jalan raya di sana. Sementara kalau ke Bayun, ia ke Klinik Santa Odilia yang dibangun pastor Belanda. Sekitar sejam naik ketinting, atau speedboat. Klinik ini mula-mula diurus dari Dian Harapan. Sebelum diserahkan menjadi milik Keuskupan Asmat.
Dalam beberapa kesempatan, kata dia, ia sempat ketemu---baik di Agats maupun Bayun---dengan Daniel Carleton Gajdusek (1923 -2008) pemenang Nobel Kedokteran yang menemukan penyakit kuru. Penyakit kuru adalah penyakit saraf yang ditularkan akibat makan otak kera  di kalangan penduduk Papua dan Papua Nugini. Sekarang namanya: "Sporadic Amiotropiclateral sclerosis". Gajdusek yang ayahnya Hongaria dan ibu Slovakia dan menjadi warganegara AS menerima hadiah nobel itu bersama Baruch S. Blumberg.
Kata dokter Sudanto, ketika itu gajinya dari pemerintah Rp 50 ribu yang diterima dua bulan sekali. Sementara dari Klinik Santa Odilia ia dibayar Rp 250 ribu per bulan.
Ia mengaku tak pernah makan enak selama di sana. Adanya sagu dan ulat sagu dan ikan air tawar. Kalau musim hujan sulit sekali mendapatkan "kayu api". Yang pernah ke Asmat pasti tahu bagaimana susahnya mendapatkan kayu bakar pada musim penghujan. Semua daratan berubah menjadi sungai. Tenggelam.  Dulu, pasti belum  ada yang punya kompor.
Enam tahun ia di Asmat. Anak pertamanya lahir di sana. Waktu itu ada rombongan turis sedang ke Asmat. Dari Eropa. Makhlum, orang Amerika dan Eropa sudah kenal Asmat sejak lama. Sebab Michael Clark Rockefeller, putra Rockefeller senior, orang terkaya dan raja minyak AS, hilang di sana. Tak ditemukan sampai sekarang. Orang Barat memang rada susah minatnya. Mereka suka sama hal yang penuh petualangan. Kalau boleh yang mustahil. Juga si antropolog muda itu. Cerita hilangnya Rockefeller junior masih sering diceritakan sekarang. Penuh misteri!
Kembali ke dokter Sudanto.
Pas rombongan itu datang, Â anak pertamanya lahir. Pas pula ia diundang naik ke atas kapal pasiar "Linblad Explorer" oleh ketua piknik para turis yang bernama Dhornbierer. Daripada susah-susah cari nama, atau untuk mengenang kebaikan hati si kepala piknik tadi, si sulung dinamai Dhornbierer. Tapi panggilannya Doni. Apa boleh buat!