Dalam beberapa tahun terakhir,saya melihat isu lingkungan semakin mendominasi perdebatan publik di Indonesia. Dengan semakin terlihatnya dampak perubahan iklim, seperti banjir, kebakaran hutan, dan polusi udara, masyarakat mulai mempertanyakan komitmen politik dalam melindungi lingkungan. Namun, ketika kita membahas politik hijau di Indonesia, sering kali kita dihadapkan pada dilema antara lingkungan dan laba.
Satu sisi, pemerintah Indonesia telah menunjukkan niat untuk mengadopsi kebijakan yang lebih ramah lingkungan. Misalnya, inisiatif pengurangan emisi karbon dan komitmen untuk menjaga keanekaragaman hayati adalah langkah yang patut diapresiasi. Namun, di sisi lain, kebijakan tersebut sering kali berbenturan dengan kepentingan ekonomi yang lebih langsung, seperti investasi dalam sektor pertambangan, perkebunan, dan infrastruktur.Sektor-sektor ini sering kali dianggap sebagai tulang punggung perekonomian nasional, memberikan lapangan kerja dan pendapatan bagi banyak orang. Namun, kita harus bertanya: apakah keuntungan ekonomi jangka pendek ini sebanding dengan kerugian lingkungan jangka panjang yang kita hadapi? Banyak perusahaan besar masih beroperasi tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dari aktivitas mereka, dan pemerintah tampak ragu untuk mengambil tindakan tegas.
Kondisi ini menciptakan apa yang bisa disebut sebagai "politik lingkungan yang ambigu." Di satu sisi, kita mendengar suara-suara yang mendesak perlunya tindakan nyata dalam melindungi lingkungan, tetapi di sisi lain, kita juga melihat kebijakan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan. Hal ini menciptakan ketidakpastian dan keraguan di kalangan masyarakat mengenai komitmen sejati pemerintah terhadap lingkungan.
Dalam konteks ini, penting bagi generasi muda, khususnya mahasiswa, untuk bersuara. Kita tidak hanya pewaris bumi ini, tetapi juga agen perubahan. Melalui pendidikan dan kampanye kesadaran, mahasiswa dapat berperan aktif dalam mendorong pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang lebih tegas dan berkelanjutan. Selain itu, dukungan terhadap inisiatif lokal yang fokus pada keberlanjutan dan pengelolaan sumber daya yang bijak juga bisa menjadi langkah awal yang signifikan.
Pada akhirnya, pertanyaan "Lingkungan atau Laba?" tidak seharusnya menjadi pilihan yang mesti dipertentangkan. Kita harus mencari solusi yang mengintegrasikan kedua aspek tersebut, di mana pertumbuhan ekonomi tidak mengorbankan kesehatan lingkungan. Ini adalah tantangan besar, tetapi dengan kesadaran kolektif dan tindakan nyata, kita bisa memastikan bahwa politik hijau di Indonesia tidak hanya menjadi jargon, tetapi menjadi praktik yang nyata untuk masa depan yang lebih baik.
Dengan demikian, arah politik hijau di Indonesia perlu diubah. Kita perlu bergerak dari retorika ke aksi, memastikan bahwa lingkungan tetap menjadi prioritas dalam setiap kebijakan yang diambil. Hanya dengan cara itu kita dapat memastikan keberlanjutan bumi dan kesejahteraan generasi mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H