Mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia ke level yang lebih tinggi merupakan cita-cita para founding fathers yang tersurat tegas dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu jalan mewujudkannya adalah melalui penciptaan lapangan pekerjaan atau hamparan lapangan sumber penghasilan yang seluas-luasnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan terwujud lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya, rakyat pada akhirnya akan memperoleh peningkatan sumber penghasilan untuk memenuhi (sekurang-kurangnya) kebutuhan dasar pangan, sandang dan papannya.
Jika berkaca pada capaian Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dalam kurun waktu 15 (lima belas tahun) terakhir, seolah-olah tugas menciptakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya dapat di simpulkan dan bahkan diklaim (oleh pemerintahan berkuasa pada periodenya masing-masing) sudah menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan dan menggembirakan. Simpulan dan klaim tersebut didasarkan pada tren penurunan TPT setiap tahunnya, dari tahun 2004 hingga 2018. Simpulan dan klaim ini tidak sepenuhnya salah karena memang data yang dirilis BPS memang menunjukkan tren seperti itu.
Menjadi salah jika kemudian pemerintah berkuasa pada setiap periode menyimpulkan dan mengklaim bahwa tren yang menurun tersebut juga menunjukkan bahwa "pekerjaan atau amanah konstitusi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia ke level yang lebih tinggi" juga sudah teralisasi signifikan dan menggembirakan. Jika ada simpulan dan klaim demikian, maka dapat dikatakan bahwa simpulan dan klaim itu TIDAK TEPAT DAN BENAR.
Hal ini didasarkan pada data ketenagakerjaan itu sendiri. Memang TPT mengalami penurunan (angka angkatan kerja yang bekerja minimal 1 jam dalam seminggu), akan tetapi pekerja tidak penuh atau pekerja yang jam bekerjanya dibawah 35 jam per minggu (standar ILO) masih sangat besar dan bahkan di setiap periode (3 periode pemerintahan terakhir) mengalami stagnasi.
Dengan masih besarnya presentasi pekerja tidak penuh dan cenderung stagnan di 4 (empat) tahun terakhir (laju penurunannya tersendat), sulit rasanya menyimpulkan peningkatan level kesejahteraan rakyat Indonesia sudah terwujud secara signifikan dan menggembirakan. Bagaimana mungkin penghasilan rakyat Indonesia meningkat signifikan kalau yang bekerja dibawah 35 jam perminggu masih mencapai 28,69 persen atau setara 35,58 juta orang pada agustus 2018 (jam bekerja, (mayoritas) sudah pasti linear dengan upah/gaji/penghasilan).
Pada 2 (dua) periode pemerintahan presiden SBY misalnya, tren presentasi pekerja tidak penuh mengalami peningkatan (meskipun sempat menurun di awal periode (2004) dan diakhir periode (2014) yang mencapai 31,20 persen). Sedikit berbeda dengan Presiden SBY, pada periode pemerintahan Presiden Jokowi sempat mengalami penurunan yang cukup besar di 2 (dua) tahun periode awal dan mengalami peningkatan kembali di tahun 2017 -- 2018. Artinya, pada periode Jokowi memang sempat mengalami penurunan, tapi relatif stagnan atau tersendat pada 4 (empat) tahun terakhir.
Pemerintah kedepan (dalam target pembangunannya) tidak boleh hanya sekedar menciptakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya dengan basis penilaian angka TPT saja. Sudah saatnya salah satu basis target pembangunan dan penilaian hasil kerja pemerintah mulai digeser (seminimal-minimalnya) menjadi "menciptakan pekerjaan seluas-luasnya dengan minimal waktu bekerja 35 jam bagi seluruh rakyat Indonesia" dengan menggunakan angka pekerja tidak penuh sebagai parameter keberhasilan.
Dengan begitu, penciptaan lapangan kerja dimaksud akan lebih linear dan realistis dengan peningkatan penghasilan rakyat Indonesia atau level kesejahteraannya (JMI).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H