[caption id="attachment_340867" align="aligncenter" width="600" caption="Tuhan Membusuk, pemikiran anak muda yang briliant"][/caption]
“Ketika Tuhan Membusuk, menunggu bau bangkai dari jasadnya”
Tuhan Membusuk', inilah tema Orientasi Studi Cinta Akademik dan Almamater (Oscar) Mahasiswa Baru (Maba) 2014 di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Jawa Timur, yang digelar pada 28 hingga 30 Agustus lalu. Tema yang cukup kontroversi, radikal plus 'ngeri' yang bisa memunculkan penafsiran luar biasa bagi yang membacanya. Melihat tajuk “Tuhan Membusuk” kecaman dari pengguna jejaring sosialpun tidak tanggung-tanggung. Tidak hanya dari kelompok radikalis yang teriak-teriak untuk mengecam bahkan beberapa umat yang moderat pun mengecam. Bahkan FPI Jawa Timurpun menyarankan kepada kepolisian agar para Panitia penggagas kegiatan tersebut tidak hanya dipenjara melainkan pantas dihukum mati. Inikah sang pengadil itu?
Walaupun sudah diterangkan oleh Staf Dema F UIN Sunan Ampel lainnya, Hidayat bahwa Tuhan Membusuk yang dimaksud bukan Tuhan Sang Dzat Yang Esa. “Tuhan Membusuk adalah kebenaran-kebenaran yang lahir dalam diri manusia yang kemudian menjelma menjadi Sang Pengadil atas nama kebenaran dari manusia itu,” ujarnya berfilosofi. (Wawancara dengan detik.com)
Bagi saya awam yang melihat dinamika soal konsepsi Agama dalam kehidupan sehari-hari justru menjadikan kita sebagai sang Pengadil akan sebuah kebenaran. Benar apa yang tertulis disana, Tuhan Membusuk. Ia yang orang sebut pengadil ternyata menjadikan begitu banyak umatnya menjadi pengadil pula. Kita adalah ciptaan Tuhan dan sudah sewajar-wajarnya kita pun mewarisi sifat-sifat dari Tuhan dari Pengasih, Penyayang, Adil, Bijaksana, bahkan sebagai Hakim. Nah ini yang seharusnya dicermati oleh kita yang katanya Bertuhan.
Judul yang saya tulisan sangat provokatif tapi ini memang masih relevan untuk dibicarakan dalam batasan-batasan tertentu di zaman ketika orang-orang sudah banyak yang kehilangan orientasi, khususnya mempertanyakan kembali eksistensi Tuhan.
Eksitensi Tuhan yang kembali dipertanyakan dalam Tema Orientasi Studi Cinta Akademik dan Almamater (Oscaar) Mahasiswa Baru (Maba) 2014 di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya yang ternyata berbuntut panjang. Peristiwa itu terjadi di dalam kampus yang merupakan salah satu bentuk dari sebuah miniatur dari mayarakat. Di kampus, dapat ditemui berbagai macam mahasiswa dengan latar belakang yang berbeda. Baik dari segi suku, agama, ras, profesi, tingkat intelektual, signifikansi wajah, dan lain sebagainya. Selain itu, ada pula perbedaan yang tidak bisa diindra secara kasat mata. Perbedaan itu adalah pemikiran dan cara pandang setiap mahasiswa terhadap sesuatu. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap mahasiswa memiliki paradigma berbeda dengan paradigma mahasiswa yang lainnya. Hal ini menjadi sesuatu yang lumrah. Sebenarnya pemikiran-pemikiran yang ditelurkan oleh mahasiswa-mahasiswa di lingkungan kampus tidak terlepas dari berkembangnya pemikiran-pemikiran yang beredar secara luas di masyarakat umum. Pemikiran-pemikiran yang bagi saya cerdas dan membangun kesadaran untuk tahu eksistensi Tuhan yang terus akan dijumpai.
Sesungguhnya, ketika berbicara masalah eksistensi Tuhan, tidak dapat dilepaskan dari naluri beragama atau naluri untuk bertuhan. Tak sedikit orang yang menganggap pembicaran yang berat. Sesuatu yang susah untuk diterima bagi orang yang tak mau menerimanya. “Ngapain sih ngomong soal Tuhan. Yang penting iman, melaksanakan perintahnya. Gampangkan. Tak usahlah kau bicara mengenai Tuhan. Gila ntar kau. Jangan aneh-aneh yang kau bicarakan, Sudahlah berdoa saja, Tuhan ada dalam hati kita, dan macam-macamlah.” Seandainya kalau kita mampu untuk bersikap cuek atas pilihan iman dari orang yang berbeda-beda, pola pikir tentang Tuhan Membusuk sudah pantas lagi dibicarakan. Kenapa? Karena iman tidak bisa dipertanyakan, iman itu harus berbuat dan menjalani perbuatan-perbuatan baik. Terlepas dari dari unsur mana kita berasa. Kalau kita sudah selesai dengan urusan ini, otomatis tidak ada tuh tindak kejahatan, korupsi, dan kegiatan negatif yang lainnya. Iman yang berarti percaya, dapat dimaknai bermacam-macam. Tafsir iman tidak lagi digunakan sebagi jalan pencarian Tuhan, tapi terkadang menjadi sesuatu yang menakutkan, mengancam nyawa, sesuatu yang ekslusif, dan tak perlu dibicarakan.
Seorang sufi Jawa, Syeh Siti Jenar harus meregang nyawa dibunuh oleh para wali yang saat itu sebagai penyiar Islam karena ajarannya tentang “Manunggaling Kawula Gusti” merupakan ajaran yang dianggap membahayakan saat itu. Konsep penyatuan raga seorang hamba kepada Tuhan-lah, para pemuka agama sangat takut atas pola pemikiran saat itu. Tapi bagi saya ini konsep Syeh Siti Jenar adalah titik akhir bahwa keabsoludan iman sudah diketemukan.
Rene Descartes berbicara, ”De Omnibus Debutandum” segala sesuatu perlu untuk diragukan, dari situ pencarian siapa itu Tuhan akan muncul dalam hati kita. Ironisnya pencarian itu akan menjadi sia-sia jika kita memahami Konsep Ketuhanankulah yang paling benar, anda itu salah.
Jadi tidak salah tema yang diangkat anak-anak muda ini sangat revolusioner melebihi para petinggi-petinggi Agama. Tentunya Tuhan akan terus membusuk, tinggal menunggu bau bangkainya saja kalau kita tidak sadar bahwa sebenarnya Tuhan itu adalah kita Cuma perbedaan kita dengan Tuhan hanya satu kalau Tuhan itu adalah hakimnya dan kita adalah tersangkanya.
[caption id="attachment_340868" align="aligncenter" width="1024" caption="Iman tanpa perbuatan adalah mati dan tentunya ketika berbuat kita bukan hakim atas apapun"]
_Salam Keberagaman_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H