Mohon tunggu...
Alexander Bancar Cakradara
Alexander Bancar Cakradara Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar(seminaris)

Sipaling olahraga, tapi kalo emteka paling dongo.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kedamaian Seekor Kukang

23 Maret 2024   09:44 Diperbarui: 23 Maret 2024   09:49 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

                                                                                                     

                                                                                           Kedamaian Seekor Kukang

                                                                                                  Alexander Bancar C.

Burung hantu sesekali mengeluarkan mengeluarkan suaranya yang merdu dan bulan menyinari seluruh kota di suatu pulau yang tak begitu besar, bernama Pulau Bolonia. Membuat suasana desa dan seisinya menegangkan. Didapur, ayah dan ibu masih memikirkan usaha untuk bisa mendapatkan penghasilan untuk keluarganya. "Ayah, mbok cari kerja lagi, mau sampe kapan cuman kita ngga punya penghasilan?!", ibu yang terus menerus menuntut ayah untuk terus mencari pekerjaan agar ayah dapat bekerja lagi. Ayah sudah lama tidak bekerja karena ia dipecat dari pekerjaannya sebagai nelayan. "Iyaa buk, ayah udah beberapa kali mencoba mencari pekerjaan, tapi apalah daya buk..." Di pulau ini yang sedang mengalami musim kemarau panjang ini, susah bagi para petani untuk bisa menghasilkan panennya. "Terus, kita dapat uang dari mana yah?!!", jawab ibu dengan emosi yang sudah tak bisa ditahan kara sudah terlalu pusing untuk memikirkan cara agar keluarganya bisa mendapatkan penghasilan. Suasana pun hening setelah konflik pendek terjadi. Aku hanya bisa terdiam, melihat kedua orang tuaku dari kamar yang masih berusaha untuk menghidupi kebutuhan keluarga. Beni, adikku yang masih berusia 10 bulan tertidur pulas di gendonganku. Wajahnya yang bagaikan malaikat itu menjadikan suasana tak begitu tegang. Musim kemarau yang panjang ini membuat seluruh penduduk desa maupun keluargaku sangat merasakan dampaknya. Aku pun hanya bisa membantu ayah dan ibu. Memancing bersama ayah untuk mendapatkan makan dan membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah. Itu pun jarang kulakukan, karena aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-temanku.

     Aku dan orangtuaku tak begitu akrab. Dari semenjak aku kecil, aku memang tak begitu akrab dengan kedua orangtuaku. Aku jarang untuk mendapatkan kasih sayang dari mereka. "Huhh... gimana ya rasanya bisa ngerasain hidup tanpa konflik? Apa aku  kabur dari ru--", "Hey Tino!!! Itu pancingmu dapet ikan, TARIKK!!!", Seketika Tino terkejut dan tersadarkan dari lamunannya itu. Tino akhirnya pun gagal untuk mendapatkan ikan yang sudah ditunggunya karena terlambat menarik pancingannya. "Yahhh, Tin, gagal lagi kan", Bagas yang mencoba untuk sabar kepada Tino. "Iya Tin, kamu tuh lagi mikirin apa to kok bengong terus?". Tino belum menjawab pertanyaan Rifki sembari menggulung pancingnya, dan Tino pun terdiam sejenak. "Akhir-akhir ini orang tuaku semakin sering bertengkar karena memikirkan untuk kehidupan keluarga", jawab Tino yang akhirnya berbicara setelah lama ia diam. "Karena musim kemarau yang panjang ini dan tak menentu kapan berakhirnya, banyak dampak yang timbul. Kalian pun merasakan hal yang sama bukan?". Seketika suasana menjadi serius, dan membuat Bagas dan Rifki terdiam. "Iya Tin, yang pasti tak hanya kita yang kena dampaknya, seluruh penduduk di pulau ini kena dampaknya juga". "Huhh...", keluh Tino yang bingung harus bagaimana.

                                                                                                                       ...

        Keesokan harinya Tino bergegas untuk menemui teman-temannya karna sudah mempunyai janji. "Buk, Tino pergi" Pamit Tino kepada ibunya yang masih menggendong Beni di dapur. Ibu mengangguk dan ternsenyum kepada Tino. "Hati-hati ya Tin". Tino pun melangkah meninggalkan rumah .

       Bolonia, desa yang sudah hampir hancur. Desa yang sudah tak berbentuk desa lagi, tidak mencerminkan kehidupan yang sesungguhnya. Suram. Pencurian dimana-mana. Konflik yang terus  bermunculan terjadi di sepanjang alun-alun desa. Rumah-rumah menolak kehadiran. Tak ada satupun rumah yang membuka pintunya. Ditengah perjalanan, langkah Tino berhenti karena melihat kedua bapak saling bertengkar karena ingin memperebutkan makanan. Saat ingin melangkah, Tino menabrak seorang kakek yang persis didepannya. "Ikutlah denganku sebentar", ucap kakek tersebut sesaat sesudah memegang pundak Tino. "Kemana?!". Tak sempat berkata apa-apa lagi, kakek itu langsung menariknya, membawanya ke suatu rumah yang usang. "Aku mohon duduklah sebentar" ucap kakek itu sambil menunjukkan rumahnya yang tanpa penerangan, debu yang melintasi ruang tamunya terlihat dari cahaya yang berasal dari jendela. Bau kayu yang sudah tua sangat tercium di seluruh ruangan. Tino sangat bingung kenapa ia dibawa kemari. Tapi ia pernah melihat kakek ini sebelumnya. 

"Hancur, tiada yang bisa lakukan lagi, nak" keluh kakek yang masih mencoba untuk duduk dengan susah payah.

 "Dulu, desa ini sangat subur dengan hasil panennya. Kebutuhan yang terus terkecukupi. Tak ada perkelahian. Damai.... Kakek sebenarnya tinggal bersama anak saya. Istri saya sudah meninggal lama. Tapi, anak kakek satu-satunya dibawa pergi oleh orang asing dari luar pulau ini. Kakek tak kuat lagi membayangkan peristiwa yang melanda di pulau ini jauh sebelum musim kemarau ini tiba.". 

"Dibawa pergi?"."Iya,nak"."dulu ada orang asing yang sempat datang ke desa ini? Mereka ngapain kek?". "Mereka datang dengan membawa seperti bawahan dan menggunakan kostum seperti penjajah. Datang,hanya meninggalkan luka bagi penduduk di desa ini, menculik orang orang. Banyak dari kami yang berusaha untuk pergi menjemput orang-orang itu, tapi mereka tak pernah kembali lagi hingga sekarang"."Tega sekali mereka. Mengapa mereka melakukan itu?"."Entahlah"."Kenapa aku tak pernah diberitahu oleh orang tuaku tentang hal ini?!". "Kami semua sepakat untuk tak memberitahu kepada penerus kami. Tapi, aku tahu bahwa kamu harus mengetahui hal ini. Tak bisa rahasia ini terpendam begitu saja". Hening. Suara gemuruh di luar rumah mengisi keheningan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun