Selama ini setiap tindakan anarki terhadap kelompok agama tertentu yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang berhaluan agama cenderung dilihat sebagai kekerasan berwajah agama. Pola melihat seperti itu berlaku juga dalam melihat tindakan anarkis terhadap Ahmadiyah di Cikeusik dan pembakaran beberapa gereja di Temanggung. Hal itu bisa dilihat melalui pemberitaan di berbagai media massa dan pernyataan-pernyataan para pemuka agama dan pemerhati kerukunan umat beragama. Hampir sebagian besar pemberitaan dan pernyataan para pemuka agama bernada sama: peristiwa Cikeusik dan Temanggung mengancam dan merontokkan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Peristiwa Cikeusik dan Temanggung dinilai sebagai kekerasan berwajah agama karena pelakunya adalah beberapa kelompok berhaluan agama tertentu dan sasarannya adalah kelompok agama tertentu. Penilaian itu sah dan wajar saja. Tetapi menilai peristiwa dari sisi itu saja tidak cukup, meskipun pelaku dan sasaran adalah sama-sama kelompok berhaluan agama.
Ada sisi lain yang patut kita perhatikan manakala berhadapan dengan peristiwa seperti Cikeusik dan Temanggung, yakni watak pesekongkol politik anarki, baik yang bermain di belakang layar maupun bermain di lapangan (pelaku lapangan). Mengenali watak mereka menjadi pintu masuk untuk mengidentifikasi pola kerjanya, dan bermuara pada menentukan langkah hukum yang tepat untuk mengatasi mereka.
Para pesekongkol politik anarki yang bermain di belakang layar selama ini disebut sebagai ”aktor intelektual.” Penggunaan istilah ”aktor intelektual” sebetulnya kurang tepat karena seorang atau sekelompok orang yang menjadi ”aktor intelektual” biasanya langsung mendakukan dirinya sebagai orang atau kelompok yang bertanggungjawab setelah peristiwa kekerasan terjadi.
Pendakuan sebagai orang atau kelompok yang bertanggungjawab setelah suatu peristiwa kekerasan berlangsung tidak pernah terjadi di Indonesia. Berbeda dengan di negara-negara lain. Misalnya di Mexico, beberapa kartel obat bius secara terus terang mendaku bertanggungjawab setelah peristiwa kekerasan tertentu. Hal kurang lebih sama berlangsung di Philipina, misalnya kelompok-kelompok Marxis bersenjata kerap kali mengaku bertanggungjawab setelah suatu peristiwa kekerasan terjadi.
Pengecut dan pramanusiawi
Orang atau kelompok orang yang mendaku bertanggungjawab atas peristiwa kekerasan lebih tepat disebut sebagai ”aktor intelektual.” Pendakuan seperti itu bukan oleh pelaku kekerasan di lapangan, melainkan oleh pelaku yang bermain di balik layar. Pendakuan seperti itu hanya bisa dilakukan oleh orang atau kelompok tertentu yang berwatak pemberani. Mereka mendaku karena mereka akan melakukan perlawanan lebih intensif dan terorganisir bila ada perlawanan dari para lawan atau penentangnya.
Para pesekongkol politik anarki yang bermain di belakang layar tidak tepat disebut sebagai ”aktor intelektual” karena para pesekongkol itu tidak mau mendaku untuk bertanggungjawab setelah peristiwa kekerasan terjadi. Mereka adalah gerombolan orang pengecut. Mereka adalah para pelempar batu dan menyembunyikan tangan setelah melakukan lemparan. Kepengecutan mereka bisa terbaca melalui pola kerjanya: tidak ada dokumen tertulis mengenai perintah melakukan tindakan kekerasan, tidak ada bukti transfer dana operasional, mengintimidasi terhadap aktor lapangan supaya tidak menyebut nama para pesekongkol bila aktor lapangan ditangkap aparat berwenang, membayar para aktor lapangan.
Para pesekongkol politik di balik layar ini bukan orang-orang rasional, bukan orang-orang yang memiliki apa yang disebut psikolog analitik C.G Jung sebagai jiwa sadar (ego). Mereka adalah orang-orang yang mengidap ketidaksadaran pribadi. Kepengecutan sebagai wujud dari ketidaksadaran pribadi tumbuh dan berkembang dalam diri mereka karena berbagai pengalaman pribadi di masa lalu dan harapan-harapan yang direpresi karena tidak sesuai dengan ego atau jiwa sadarnya.
Demikian pula aktor lapangan yang merupakan bagian dari pesekongkol politik anarki. Aktor lapangan adalah orang-orang oportunis karena terdesak kebutuhan perut dan ekonomi jangka pendek. Mereka berani pasang badan dalam kondisi apapun dan untuk kepentingan apapun. Keberanian itu merupakan buah dari patologi dalam diri yang mengelabui ego (jiwa sadar) dan ketidaksadaran pribadi. Rasionalitas absen dalam setiap tindakan dan ucapannya. Mereka mengidap ketidaksadaran kolektif yang diwariskan dari masa lampau oleh orang-orang yang bertalian darah yang berwatak pramanusiawi.
Para pesekongkol politik anarki yang beroperasi di lapangan dengan cukup mudah diidentifikasi dan diatasi (ditangkap) sesuai hukum yang berlaku oleh aparat berwenang. Lalu bagimana mengidentifikasi pesekongkol politik anarki yang bermain di belakang layar? Bagaimana mengatasi mereka? Metode intelijen bisa mengidentifikasi mereka. Tetapi mengatasi gerombolan orang pengecut seperti mereka, memerlukan instrumen hukum yang lebih memadai, mengingat pola kerja mereka sebagai pengecut adalah tidak meninggalkan bukti empiris dalam bentuk apapun. Kepengecutan mereka harus dapat diatasi oleh kememadaian instrumen hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H