Setiap negara di dunia memiliki kebijakan masing-masing dalam menentukan kewajiban mengenakan seragam bagi para siswa. Di Indonesia, ketentuan mengenakan seragam ditentukan secara beragam. Berdasarkan jenjang maupun jenis pendidikan. Sekolah Dasar (SD/MI) berwarna putih (baju/bagian atas) dan merah (celana atau bagian bawah).Sementara di Sekolah Tingkat Pertama (SMP/MTs) berwarna putih (baju/bagian atas) biru (celana atau bagian bawah).Ketentuan untuk berseragam tersebut berlaku secara nasional kususnya untuk sekolah negeri sesuai aturan pemerintah pusat. Sekolah swasta, sebagian besar memang mewajibkan siswanya untuk berseragam, walaupun mereka memiliki seragam sendiri yang menjadi ciri khas sekolah mereka. Misal, pada sekolah muslim, siswi-siswinya diwajibkan untuk memakai jilbab.
Aturan pemakaian seragam menimbulkan pro kontra. Bagi mereka yang Pro dengan aturan seragam sekolah, menurut mereka manfaat yang diperoleh ketika mengenakan seragam sekolah, menurutLinda Lumsden dan Gabriel Miller (2001) adalah "Uniforms by themselves cannot solve all of the problems of school discipline, but they can be one positive contributing factor to discipline and safety". Selain itu, Lumden secara terperinci mengatakan benefit dari aturan mengenakan seragam sekolah : (1) dapat meningkatkan keamanan sekolah (enhanced school safety); (2) meningkatkan iklim sekolah (improved learning climate), (3) meningkatkan harga diri siswa (higher self-esteem for students), dan (4) mengurangi rasa stres di keluarga (less stress on the family). Dimata orang awam, tujuan utama pemakaian seragam adalah untuk mengurangi kesenjangan sosial, biar terkesan rapi, educated, dan untuk membedakan kegiatan sekolah-menuntut ilmu dan kegiatan (main-main) lainnya.
Kewajiban menggunakan seragam sekolah telah menjadi bagian tata tertib sekolah dan dilaksanakan secara ketat. Mulai dari ketentuan bentuk, ukuran, atribut, badge, bahan, bahkan aturan pembelian. Saya adalah alumni SMP negeri1 Brebes. Teringat dengan jelas ketika saya diharuskan untuk memakai badge nama SMP saya di lengan kanan, label Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) di saku sebelah kanan, label nama di sebelah kiri, baju dimasukkan, sepatu hitam dan kaos kaki putih polos. Semua aturan diberikan dengan embel-embel untuk menanamkan kedisiplinan, rasa cinta, dan rasa bangga terhadap sekolah.
Saya alumni SMA Kolese De Britto, sebuah SMA swasta di Jogja yang tidak mewajibkan untuk seluruh siswanya untuk memakai seragam. Seragam hanya wajib digunakan untuk hari senin dan saat upacara bendera. Tiga tahun “hidup” di De Britto tanpa seragam, saya tetap merasakan manfaat-manfaat yang telah disebutkan diatas. Teman-teman SMA saya tetap bertanggung jawab dengan apa yang harus mereka lakukan. Mereka tetap disiplin dan tepat waktu.
Saya skeptis dengan pendapat dan pernyataan pakar dan praktisi pendidikan di Indonesia yang menyerukan manfaat dan kewajiban untuk berseragam. Untuk masalah rasa cinta dan rasa bangga terhadap sekolah, cinta itu dari hati dan pikiran, bukan dari apa yang dikenakan dan digunakan. Saya sangat bangga terhadap De Britto walaupun saya hanya memakai seragam setiap hari senin. Menurut saya, tidak ada korelasi antara kebanggan dan seragam.Identitas itu dari apa yang kita lakukan dan kumpulan dari seluruh keputusan-keputusan kita, bukan dari label dan badge yang kita tempel di pakaian kita.
Menurut Fx Djoko Sukastomo (2004), seorang guru SD dan pakar pendidikan, mengatakan beberapa alasannya untuk tetap mendukung adanya aturan seragam sekolah : membentuk kerapian dan sebagai kendali, dengan berpakaian seragam, secara otomatis anak-anak merasa bukan anak liar, yang sangat bebas bertindak dan melakukan pelanggaran asusila maupun kegiatan yang dilarang oleh peraturan sekolah. Kerapian yang ditimbulkan dari seragam sekolah adalah suatu kerapian semu, kerapian karena adanya keterpaksaan. Pada prakteknya ketika seseorang berada dalam bangku kuliah atau dalam dunia kerja, aturan untuk seragam tidak berlaku lagi. Ketika seseorang yang dari kecil sudah dididik mengenai kerapian yang nyata, bebas tapi rapi, bukan karena terpaksa tentu akan berbeda. Selain itu, kendali setiap siswa sangat tidak relevan dengan seragam. Seragam itu masalah apa yang digunakan bukan apa yang dilakukan. Liar atau tidak, memilih untuk melakukan pelanggaran atau tidak, bukan karena seragam.
Pendidikan tanpa seragam memang tidak mudah. Menurut F. Wawan Setyadi, seorang Jesuit dan alumnus STF Driyarkara yang pernah bekerja sebagai pendidik di de Britto dalam bukunya Menjadi Manusia Bebas, melihat semua siswa berseragam rapi mungkin terasa lebih mudah dan menyenangkan daripada membiarkan anak didik memilih sendiri pakaian yang hendak mereka kenakan saat bersekolah. Namun, dengan penyeragaman tidak ada hal yang dapat dipertanggung jawabkan. Cuma orang bebas yang dapat dimintai pertanggungjawaban.
Sependapat dengan argumen Wawan, ketika kita “dipaksa” untuk memakai seragam, tidak ada hal yang dipertanggung jawabkan melalui seragam tersebut. Lain halnya dengan bebas dari seragam, setiap pakaian yang dipakai selalu menuntut tanggung jawab. Pernah suatu kali saya memakai jeans sobek-sobek, dan saya “tertangkap” oleh Romo pamong, saat itu juga saya mendapatkan sanksi, dan saya bertanggung jawab atas pilihan yang saya pilih. Efek dari hukuman itu, membuat saya hingga saat ini tidak pernah lagi memakai celana sobek-sobek lagi didalam instansi pendidikan.
Dalam hal berseragam, siswa-siswa di Indonesia tidak tau nilai-nilai yang melatar belakangi aturan tersebut. Saya yakin merekahanya sebatas mengerti untuk mencegah kesenjangan sosial. Mereka tidak bertindak sesuai prinsip yang jelas. Menurut Wawan lagi, kebanyakan manusia Indonesia hanya diajari untuk bertanggungjawab di bawah paksaan, bukan di alam kebebasan.
Seragam selalu menjadi pro kontra, saya dengan pengalaman, pengamatan, dan pehaman saya tidak melihat adanya manfaat adanya penyeragaman dalam berpakaian dalam instansi pendidikan. Seragam menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sama ragamnya; sejenis; sama; (pakaian) yang sama potongan dan warnanya. Seragam adalah pakaian, bukan soal disiplin, gampang dikendalikan. Kesenjangan sosial bukan timbul akibat tanpa seragam, tapi karena apa yang dilakukan, pilihan apa yang diputuskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H