Kerukunan antar suku, agama, dan ras atau yang terkenal dengan singkatan  SARA, merupakan unsur yang penting dalam membangun kerukunan hidup dalam  berbangsa dan bernegara. Sebagai negara multikultural yang kaya akan  keberagamannya, negara Indonesia memiliki potensi yang cukup besar akan  timbulnya masalah- masalah intoleransi di kalangan masyarakat. Intoleransi sendiri  memiliki arti suatu bentuk tindakan diskriminatif yang dilakukan secara sengaja  terhadap suatu kelompok tertentu. Oleh karena itu, dengan segala perbedaan yang  ada, penyebaran paham intoleransi dapat mengancam keutuhan negara Indonesia.Â
Jika diulik kembali, akar permasalahan ini berawal dari zaman  pemerintahan Belanda di Indonesia. Devide et Impera atau yang biasa dikenal  sebagai Politik Adu Domba, pertama kali diperkenalkan di Indonesia dengan tujuan  untuk memecah belah kelompok- kelompok besar menjadi kelompok- kelompok  kecil yang lebih mudah untuk ditaklukkan. Kebijakan ini diberlakukan dengan cara  menyebarkan pemahaman yang salah terhadap suatu kelompok tertentu. Melalui ini, secara tidak langsung Belanda telah menanamkan benih dari paham intoleransi  dan membukakan ruang yang cukup besar bagi munculnya tindakan intoleransi  yang dapat berujung pada keruntuhan Indonesia.Â
Sebetulnya, permasalahan ini sempat reda ketika Indonesia mendapatkan  kemerdekaannya. Sayangnya, di era pemerintahan presiden Soeharto, paham  intoleransi ini mulai berkembang dan digunakan kembali. Dikala itu, mereka yang  beretnis Tionghoa tidak diperbolehkan untuk merayakan imlek dan juga tidak  diperbolehkan untuk memiliki nama Tionghoa. Dari sini, paham intoleransi pun  semakin menyebar dan mengakar di kalangan masyarakat Indonesia.Â
Pada dasarnya, intoleransi merupakan akar dari segala permasalahan yang  memicu terjadinya gerakan perpecahan di negara kita. Memiliki sifat yang turun  temurun, masalah ini seakan tertanam di dalam benak masyarakat dan seolah tidak  pernah hilang sampai ke generasi- generasi selanjutnya. Bahayanya, dengan  berkembangnya teknologi komunikasi, kekeliruan paham ini perlahan mulai  disebarluaskan melalui akun- akun media sosial yang ada. Dapat dibilang, dengan  hanya bermodalkan sebuah mulut dan 2 jari saja, paham ini dapat dengan mudah  disebarluaskan dan ditanamkan di dalam benak masyarakat luas.Â
Sayangnya, mengingat tingkat pendidikan di Indonesia yang masih  tergolong sangat rendah ditambah dengan kurangnya budaya literasi, pemahaman  yang salah ini dengan begitu saja langsung dipercaya oleh sebagian besar  masyarakat. Nantinya, jika suatu individu atau kelompok yang memiliki kekeliruan  paham tersebut berani melakukan tindakan- tindakan yang irasional, permasalahan  ini akan semakin memburuk dan parahnya bisa memecah belah negara. Oleh karena itu, melihat cepatnya pola penyebaran yang memudahkan terpicunya gerakan  perpecahan di dalam negeri, sudah selayaknya masalah intoleransi ini dijadikan  sebagai prioritas utama yang harus secepatnya diantisipasi oleh pemerintah agar  tidak mempengaruhi keutuhan negara.Â
Sebagai bukti nyata, berdasarkan data yang diperoleh oleh Setara Institute  pada tahun 2020, terdapat sejumlah 180 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama  dengan 424 bentuk tindakan yang tersebar di 29 provinsi yang ada di Indonesia.  Secara lebih spesifik, kasus- kasus yang terjadi meliputi 71 kasus diskriminasi, 21  kasus penangkapan, 52 kasus penodaan agama, 16 kasus pelarangan kegiatan, 13  kasus penyidikan atas tuduhan penodaan agama, 12 kasus tuntutan hukum atas  penodaan agama, 12 kasus penahanan atas tuduhan penodaan agama, 10 kasus  pelarangan usaha, 9 kasus condoning, 9 kasus vonis dakwaan penodaan agama, 9  kasus dakwaan penodaan agama, 62 kasus intoleransi, 17 kasus penolakan  mendirikan tempat ibadah, dan 8 kasus pelarangan aktivitas ibadah yang dilakukan  oleh aktor negara maupun aktor non- negara.Â
Masalah ini juga diperkeruh oleh penyebaran luas melalui media sosial.  Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh International NGO Forum on  Indonesian Development (INFID) bersama dengan jaringan GUSDURian,  ditemukan beberapa pesan- pesan radikal ataupun intoleransi yang tersebar di  berbagai macam media sosial. Melalui aplikasi telegram sendiri, ditemukan akun akun dengan ribuan pengikut yang menyebarkan paham radikalisme dan intoleransi  seperti, @hizbuttahiririd, @salamdakwah, @salafyways, @jalananlurus, dan  @forumkajianislamcikampek. Melalui aplikasi Facebook, juga ditemukan 884  unggahan dengan kata kunci yang tergolong radikal sesuai indikator ICCT. Melalui  aplikasi Twitter, ditemukan juga 20 akun yang sering mencuit atau mengicau balik  pesan- pesan radikal dengan kata kunci "kafir" sebanyak 5.173 kicauan dan  "komunis" sebanyak 995 kicauan dalam sebulan.Â
Contoh permasalahan yang lebih jelas dapat kita lihat dari peristiwa  Gerakan Papua Merdeka yang sebelumnya pernah terjadi. Gerakan ini merupakan  gerakan separatis Papua dari Indonesia yang salah satu latar belakangnya adalah  daerah papua yang diperlakukan secara tidak adil dan diskriminatif. PerilakuÂ
perilaku yang dimaksud seperti, organisasi FPI yang melontarkan hinaan seperti  "Monyet" terhadap mahasiswa papua atau kasus lain seperti kasus rasisme terhadap  Ambroncius Nababan yang mengunggah foto penghinaan terhadap Natalius Pigai  melalui akun Facebook miliknya. Mengetahui hal ini, dapat kita lihat bahwa banyak  sekali contoh- contoh kasus intoleransi yang tersebar di Indonesia yang hampir  memecah belah negara kita. Dari situ, usaha mencegah dan mengatasi harus segera  dicari dan direalisasikan. Â
Sebagai solusi, tentunya kita familiar dengan pepatah tak kenal maka tak  sayang. Maka dari itu, mengenal sesuatu atau seseorang terlebih dahulu sebelum kita mengambil kesimpulan merupakan solusi terbaik. Pepatah ini dapat  direalisasikan oleh pemerintah dengan beberapa cara demi mengakhiri ancaman ini. Pertama- tama, cara yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan  melakukan tindakan pencegahan sedini mungkin. Memfasilitasi rakyat dengan  guru- guru pendidik mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan yang  terkualifikasi, menjadi cara paling dasar dalam upaya pencegahan kasus intoleransi  ini. Selain daripada itu, mengadakan dialog bersama tokoh agama dan tokoh  masyarakat yang memiliki kredibilitas juga bisa dijadikan sarana edukasi bagi  masyarakat luas. Dengan ini, harapannya masyarakat Indonesia tidak lagi salah  paham akan konsep toleransi dapat lebih mengenal kelompok- kelompok lainnya. Cara kedua yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan merevisi dan  mempertegas hukum terhadap permasalahan intoleransi. Melihat  perkembangannya, edukasi saja tidak dapat menjadi satu- satunya cara dalam  menghadapi masalah ini. Setinggi- tingginya edukasi yang ada, budaya melihat dan  mencontoh masih tertanam di dalam benak masyarakat Indonesia. Secara lebih  sederhana, melihat para pelaku intoleransi yang tidak disertai dengan penegakan  hukum, membuat seakan- akan si pelaku melakukan hal yang benar dan boleh untuk  dicontoh. Oleh karena itu, dengan adanya penegakan hukum, harapannya, segala  bentuk tindakan yang mengarah kepada intoleransi, secara umum dapat dicegah dan  dihentikan.Â
Dalam perealisasiannya, terkadang cara pencegahan tidak selalu berjalan  mulus dengan rencana awal. Oleh karena itu, cara terakhir yang bisa dilakukan  adalah mengatasinya. Dengan program deradikalisasi, program ini dapat membantu  mereka yang memiliki kesalahpahaman sehingga dapat diluruskan kembali.  Program ini berisi kegiatan- kegiatan yang mencakup beberapa tahapan yaitu,  identifikasi masalah, rehabilitasi, re-edukasi, dan re-integrasi dengan maksud untuk  memberikan bekal pemahaman agama, kebangsaan, dan kewirausahaan. Sehingga,  kedepannya para mantan pelaku intoleransi dan radikalisme dapat benar- benar  merasa hidup dan diakui di negaranya sendiri dan gerakan yang mengarah ke  intoleransi dan radikalisme dapat berakhir.Â