Mohon tunggu...
Alexander Iandri
Alexander Iandri Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Ad Maiorem Dei Gloriam

seratustujuh. SEMINARI MERTOYUDAN

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Saling Mengenal: Jembatan Relasi dan Toleransi

14 Februari 2022   12:41 Diperbarui: 14 Februari 2022   13:07 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman. dan bisa dipastikan bahwa negara ini sendiri pada awalnya dapat lahir bukan semata-mata karena persamaan melainkan perbedaan. Sekalian "founding fathers" pada kala itu juga telah begitu mulia membangun persatuan dan kesatuan bangsa, lengkap dengan semboyan yang mereka gadang-gadangkan dan hingga kini mendarah daging dalam tiap individunya, "Bhinneka Tunggal Ika". Semboyan yang apabila sungguh-sungguh diimplementasikan oleh tiap individnya tentu akan menghadirkan kedamaian. 

Bicara soal keberagaman, negara ini juga cukup banyak mmiliki keberagaman dari segi kepercayaan yang dianut tiap warganya. Hingga kini terdapat 6 agama resmi yang diakui oleh negara, yakni Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Dengan perbedaan tersebut apabila tidak terpelihara dengan baik bisa menimbulkan konflik antar umat beragama yang bertentangan dengan nilai dasar agama itu sendiri yang mengajarkan kepada kita kedamaian, hidup saling menghormati, dan saling tolong-menolong.

Berdasarkan artian etimologisnya, agama dibagi kedalam dua penggalan kata yakni A= tidak ada, GAMA= chaos atau keributan[1]. Lantas apa fungsi agama jika tidak saling tolong-menolong? Apa fungsi agama jika tidak saling menghormati? Apa fungsi agama jika tidak tercipta sebuah kedamaian? Dan lantas apakah agama masih cukup relevan untuk sekarang dan nanti? 

Pandangan-pandangan seperti demikian rasanya kerap berkembang di masyarakat belakangan ini. Namun jika kita terlalu melihat sisi buruknya tentu kita juga pada akhirnya tak bisa menemukan secercah harapan dari hadirnya agama itu sendiri. Dan disini saya menemukan salah satu latar belakang atau semacam akar permasalahan yang nanti dapat dicarikan solusinya, yakni mengapa tindakan-tindakan intoleransi antar umat beragama masih kerap terjadi dewasa ini? 

Poin pertama dan terutama ialah terletak pada wawasan atau pengetahuan dari tiap pribadinya akan agama atau kepercayaan yang dianut orang lain diluar agama atau kepercayaan yang dianutnya. Dan disini makin nyatalah peribahasa "tak kenal maka tak sayang". Kita butuh mengenal yang diluar diri kita. Kita butuh memahami yang diluar diri kita. Atau mungkin kita masih belum sebegitu mengenal dan memahami yang di dalam diri kita sehingga kita cenderung selalu memaksakan yang diluar diri kita seturut yang ada di dalam diri kita. Dan jika sudah seperti demikian maka berubah dan berbenah adalah jalannya.

Dalam kesempatan ini saya mengambil konteks kasus yang belakangan ini sedang mencuat, "tendang sajen". Peristiwa tersebut terjadi di kawasan kaki gunung Seemeru. Dan jika menilik dari perkataan pelaku, "inilah yang menyebabkan murka Allah", tentu itu sangat berlawanan dengan ajaran yang dianut oleh pelaku. Dalam ayat 108 surat Al-An'am menyatakan "Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan".

 Dalam surat tadi telah jelas bahwa untuk memaki saja pun sudah tidak diperkenankan, apalagi harus sampai menendangnya. Dalam kasus berikut saya menangkap sisi ketidakpahaman dari sisi pelaku. Sebab mungkin ia tahu bahwa hal ttu sebenarnya tidak tepat dilakukan. 

Namun kembali lagi "sekedar tahu" dengan "tahu betul" itu amat memiliki perbedaan yang mendasar. Sehingga sebagai manusia yang beretikat luhur dan mulia kita mustinya mampu untuk sampai pada pengimplementasian dari wawasan yang kita peroleh dari manapun juga kapanpun. Masakan manusia yang beretiket luhur dan mulia tadi hanya mengejar keinginan yang mendasar dan menyesatkan belaka? Saya rasa ini perlu menjadi ajang refleksi bagi sekalian kita yang menyandang predikat luhur dan mulia.

Upaya yang saya temukan ialah penggalakkan hal melawan intoleransi ini perlu dimulai dari rumah wawasan itu sendiri, ialah sektor pndidikan. Benar, sektor pendidikan merupakan hal yang begitu krusial bagi tumbuh kembang benih-benih serta buah generasi muda bangsa. Saya masih kerap menyaksikan adanya pembedaan-pembedaan yang dihadirkan di sekolah-sekolah, berkenaan dengan perbedaan keyakinan itu sendiri. Apabila hal demikian terus dikembangbiakkan, maka perpecahan serta kehancuranlah yang sejatinya akan kita tuai pada akhirnya. 

Karenanya perlu adanya juga semacam "evaluasi kurikulum masif" yang berfokus pada pengajaran ajaran kebaikan di agama lain kepada setiap peserta didik, di luar agama asal mereka. Jadi dengan mengenal kebaikan dalam agama yang diluar agamanya, diharapkan peserta didik mampu mengupayaan toleran itu sendiri, bukan lagi intoleran. Contohnya ialah penerapan "pendidikan religiositas" yang telah diterapkan di beberapa sekolah swasta di Jawa Tengah. 

Pendidikan religiositas itu sendiri pada dasarnya didasarkan pada Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR). PPR tadi memunginkan pengajar dan siswa dalam suatu kelas yang heterogen untuk merefleksikan pengalaman kehidupan dan realitas sehari-hari dalam bingkai reflektif nan religius .[2]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun