Sebenarnya Nggak perlu heboh-heboh amat, bila ada pemikiran hingga usulan dari warga negara, baik mewakili pribadi, sekompok orang atau atas nama organisasi resmi terkait pemblokiran situs-situs yang menurut mereka “berbahaya “ atau “negatif”, baik itu yang mepermudah akses pada konten pornografi, kekerasan, perjudian atau malah yang memang meresahkan masyarakat semisalnya situs-situs diskriminasi dan yang mempertetangkan SARA, Terorisme, dan menyebarkan Kebencian dan lain sebagainya. Kalo kemudian diperluas pengertian konten “berbahaya” atau “negatif”, silahkan didefinisikan sendiri deh, khususnya pemerintah, terserah mau seperti apa. Jadi usulan tersebut sah-sah saja kan ya? Apalagi kalo memiliki dasar argumentasi yang disesuaikan dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan mengikat sekalipun berseberangan dengan pendapat umum, berdasarkan keyakinan akan nilai-nilai agama, norma dan etika bangsa.
Jadi apa yang diberitakan oleh beberapa media daring terkait pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang katanya menuntut pemerintah memblokir Google dan YouTube karena dianggap menyebarkan konten berbau pornografi, seharusnya nggak perlu dibesar-besarkan dong. Justru patut dihargai juga, jika melihat secara substansi dari pemikirannya untuk menodorong pemerintah dalam hal ini kominfo dan lembaga negara yang terkait, termasuk polri, BIN dan lainnya untuk bekerja semaksimal mungkin untuk memerangi situs-situs Negatif atau “berbahaya”, yang antara lain udah Lexa sebutin sebelumnya, sejauh nggak bertentangan dengan hukum, perundang-undangan dan kepentingan sebagian besar masyarakat umum.
Lagian pernyataan tersebut sudah diluruskan oleh pengurus dan pimpinan ICMI, khususnya Jimly Asshiddiqie dan Ilham Habibie. Jadi sebenarnya udah clear. Nggak usah pake ngebully segala orangnya apalagi organisasinya. Kalo kemudian disusul dengan berbagai tanggapan yang datang dari berbagai pihak, entah itu anggota parlemen, menteri, wakil presiden, pengamat dan masyarakat. Ini karena media dan peran netizen yang menyebabkan persoalan ini terkesan menjadi besar. Ya.. namun juga harus dimaklumin, sudah menjadi tugas wartawan untuk menggali informasi dari berbagai sumber dan kemudian oleh pemimpin redaksinya disetujui untuk dijadikan berita walau dengan judul yang bombastis atau kadang bersifat provokatif. Tapi Kalo harus mengulang terus menerus pemberitaanya, udah kontraproduktif dan Nggak lagi mendidik rakyat. Semua orang sudah tau kok kesimpulan akhirnya, jadi apa sih yang dicari? Menyudutkan orangnya atau organisasinya atau ada skenario yang lebih luas? Jadi sudahlah, anak kecil juga udah bisa menyimpulkannya.
Nah lho, jadi Lexa posisinya dimana? Mendukung atau justeru melarang upaya pemblokiran situs-situs yang memuat konten pornografi? Yang pasti Lexa Nggak hanya menyoroti situs-situs yang memuat konten pornografi, karena masih banyak definisi konten berbahaya atau negatif yang harus menjadi perhatian Pemerintah. Namun kalopun saat ini pornografi lebih disoroti, ya wajar saja Kalo sebagian masyarakat mendesak pemblokiran dilakukan sesuai dengan amanat undang-undang dan dilakukan dengan prosedur yang tepat dan mempertimbangkan norma, etika, serta berpihak pada kepentingan umum. Jadi yang menjadi kosentrasi bukan hanya Google dan Youtube seharusnya, ini mungkin hanya beberapa contoh yang menjadi rujukan.
Lho kalo memang terbukti merugikan sebagian besar masyarakat boleh aja dong ditinjau untuk diblokir, apalagi pemiliknya Nggak memenuhi standar dan regulasi yang diajukan oleh Pemerintah. Bukanya pemerintah sudah beberapa kali melakukan pertemuan dengan penyelengara aplikasi Over The Top (OTT) dan telah sepakat untuk melakukan Self Cencorship terhadap Konten Negatif. Jadi jika pemilik atau penyelenggara OTT yang Nggak melaksanakan kesepakatan itu, ya diberi teguran dan boleh saja ada yang diblokir kemudian. Namun tentu saja harus memikirkan mekanisme teknis untuk dapat diimplementasikan. Jika mereka memanfaatkan pasar Indonesia, seharusnya konten yang diedarkan harus sesuai dengan aturan, norma, dan budaya Indonesia, karena negara Indonesia dibangun diatas konstruksi yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan.
Usulan tersebut, walau katanya hanya menyebutkan google dan youtube, secara substansi sebenarnya menyangkut situs lainnya termasuk yang dikelola OTT lain. Daripada yang berwenang cuman nongkrong di kantor dan ongkang-ongkang kaki, tinggal nunggu laporan masyarakat baru bereaksi. Jadi.. sejatinya usulan tersebut juga dapat dilihat sebagai evaluasi bagi kementerian dan lembaga terkait yang berwenang. Harusnya proaktif, apalagi udah ada payung hukum dan tupoksinya masing-masing. Namun karena baru berupa usulan jadi dievaluasi saja lah, dan bila ingin ditindaklanjuti tentu saja jangan asal bertindak juga.
Perlu bukti? Sebagai contoh, coba aja search engine lainya selain google atau melalui fasilitas pencarian pada layanan aplikasi OTT, malah lebih parah lagi. Jadi Kalo dilihat dari substansi usulan tersebut, sebenarnya sebagai masukan untuk melihat lebih jauh keberadaan situs negatif atau berbahya lainnya. Karna emang masih banyak kok tanggung jawab yang belum dinunaikan secara tuntas. Jangankan aplikasi OTT, menjamurnya situs yang menyebarkan kebencian, diskriminasi dan SARA saja belum berani ditindak. Nggak perlu disebutin deh berapa jumlah situs yang tergolong berbahaya itu, masyarakat juga udah pada tau.
Mirisnya lagi, untuk situs atau yang bersifat user-generated content yang dimuat pada situs layanan online seperti media sosial, yang dikelola dan dimanfaatkan oleh Warga Negara Indonesia, sebenarnya masih banyak yang mengandung konten bermuatan negatif atau “berbahaya”. Apa mereka sudah ditindak seusi hukum dan peraturan yang berlaku? Bisanya cuman hapus, blokir, atau lebih halus lagi katanya menapis. Bahkan malah dibiarkan Hahaha. Harusnya sang kreator atau pemilik situs atau konten “benalu” yang berbahaya itu ditindak dong! Kalo cuman ditapis dan diblokir, enak banget ya tugasnya, sementara yang melanggar Nggak diproses dan ditindak menurut hukum yang berlaku. Sehingga jangan disalahkan abila kemudian akan bemunculan situs lain atau konten “benalu” baru yang bermuatan negatif atau berbahaya. Kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi yang dijamin oleh undang-undang, bukan berarti seenak perutnya melanggar kepentingan umum dan hak-hak orang lain yang juga dijamin oleh undang-undang. Jangan artikan kebebasan dan demokrasi secara sempit.
Sekali lagi kalo boleh jujur, masih banyak situs yang berbahaya yang harus ditangani namun masih dibiarkan, jadi jangan hanya fokusnya hanya pada situs luar negeri yang berbau porno-porno aja? Sebagi contoh aja nih, untuk berita kesehatan dari media daring arus utama, yang seharusnya memberi peringatan atau memverifikasi pembacanya terlebih dahulu terkait konten yang pantas dibaca oleh usia 18 tahun ke atas, apa nggak membangkitkan syahwat jika dibaca oleh pembaca yang emang otaknya udah mesum? Apalagi kalo dari sononya otak mesumnya nggakk “diblokir” dengan pengetahuan dan pendidikan yang cukup tentang pemanfaatan internet secara baik dan benar, termasuk etika dan norma yang harusnya diterapkan dengan baik dan benar pula, apa saja bisa memicu gelora mesumnya. Belum lagi lagi bagi mereka yang udah keracunan pikiran mesum , ya cara memanfaatkan intenernet sebagian besar pasti ke arah-arah situ juga.
Lagian siapa sih yang berani memberikan jaminan sampai kapan semua akses internet terbebas dari situs-situs berbahaya atau negatif tersebut? Emangnya generasi muda sekarang dikira nggak pinter apa? Ponakan Lexa aja udah memperagakan cara mengakali situs-situs yang diblokir pemerintah yang didukung oleh para provider internet di Indonesia. Tapi apa Lexa terus marahin tuh ponakan? Nggak lah, bisa saja ia ingin menunjukan kalo ia sudah mampu belajar mengenal teknologi internet dengan baik menurut pemikirannya. Lagian yang dicari ponakan bukan situs porno, tapi karena kepengen nonton streaming online film atau video kegemarannya. Tapi karena kan keliru, tentu saja Lexa Nggak akan memujinya berlebihan namun memberikan arahan dengan bijak, walau memang nggak ada jaminan atau sulit untuk dicegah agar ia nggak mengulangi hal yang sama untuk tujuan yang sama maupun yang berbeda.
Dari pada nulisnya kepanjangan, sebenarnya yang perlu “diblokir” itu “Otak Mesum” dan “Niat Jahat”, maksud Lexa ini seperti kata Ilham Habibie, akan lebih baik jika ada aksi pendidikan yang secara konsisten dan berkesinambungan mendidik masyarakat mengenai manfaat dan mudarat dari pemakaian internet, termasuk Google dan YouTube dan tentunya situs lain yang memang memiliki manfaat lebih banyak ketimbang yang negatif.