"Semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin besar rasa toleransinya" - Gus Dur
Ember, tas, peci (sebuah penutup kepala), dan kawanan barang lainnya diangkut ke atas bis, tanpa tahu akan bentuk tempat tujuannya. Gerombolan siswa tersebar bagai semut, masuk ke dalam bis-bis yang ada. Muka mereka yang ceria menggambarkan sebuah ketertarikan dan rasa penasaran yang tinggi. Bagaimana eskursi yang akan dilakukan di pondok-pondok pesantren akan berjalan? Apakah melalui hal tersebut dapat mendefinisikan secara lebih jelas peran toleransi dalam masyarakat ini?
Kegiatan eskursi tersebut dilakukan oleh kelas XII sebagai salah satu bentuk acara dan tagihan untuk bagian Integrated Learning Project (ILP). Dengan tema "Embrace, Share, and Celebrate Our Faith", eskursi menjadi bentuk konkrit pengajaran Kolese Kanisius Jakarta yang tidak hanya berkutik di ruang-ruang kelas yang tertutup: belajar praktik di kehidupan nyata, mengais pengalaman yang unik di setiap kegiatan yang ada. Para Kanisian (siswa Kolese Kanisius Jakarta) mendalami makna toleransi melalui kegiatan ini dengan menghadapi perbedaan secara langsung dan mengalami budaya mereka yang berbeda.Â
Berulang kali disebutkan: Toleransi. Definisi manakah yang bisa digunakan? Menurut Poerwadarminta (2000), toleransi merupakan sifat atau sikap  menghargai, membiarkan, membolehkan pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan lain sebagainya yang berbeda dengan pendiriannya sendiri. Secara singkat, toleransi memiliki definisi sebagai sebuah bentuk penerimaan akan perbedaan yang ada, bagaimanapun bentuknya. Para Kanisian telah melalui eskursi, bagaimanakah cara mereka memandang perbedaan yang ada di sekitar mereka? Dan apakah rasa toleransi semakin berbunga di hati para Kanisian?
Permulaan
Pondok pesantren tujuan kami bermacam-macam, sesuai dengan kelompok yang sudah ditentukan beberapa waktu yang lalu. Kelompok yang berangkat menuju Pondok Pesantren Nur El-Falah berangkat dengan tampak yang bermacam-macam, juga dengan ekspektasi-ekspektasi mereka yang berbeda-beda. Namun, dari sini saja sebuah perbedaan dapat terlihat di antara Para Kanisian.Â
Sesampainya di Pondok Pesantren, cuaca terik nan kering segera menyergap gerombolan Kanisian yang baru saja mengambil barang. Meskipun begitu, Kanisian tetap memiliki keantusiasan yang cukup tinggi. Hal menarik pertama berada di sambutan hangat mereka terhadap kelompok Kanisian ini. Perbedaan yang sudah diketahui adalah perbedaan agama dan ras, tetapi sepertinya bukan menjadi masalah bagi mereka.
Tanpa banyak waktu yang termakan, Kanisian diantar menaruh barang di tempat istirahat dan keliling komplek pesantren tersebut. Bagai ladang padi, luasnya sangat mengagumkan: mencakup hampir semua tingkat pendidikan mulai dari setingkat dengan TK sampai dengan setingkat kuliah atau sekolah tinggi. Hal ini memberikan kesan bahwa daerah pondok pesantren merupakan sebuah daerah yang mengedepankan akademik dan pembelajaran akan berbagai macam hal.
Menghancurkan Zona Nyaman
Ada beberapa perbedaan yang ditemukan selama penyesuaian. Kanisian menemukan bahwa kebiasaan pondok pesantren sangat disiplin. Terutama terkait dengan waktu-waktu tertentu: sholat dan belajar; tidak banyak ditemukan di sekolah-sekolah Jakarta. Perbedaan kebiasaan menjadi salah satu tantangan bagi Kanisian sehingga metode pendekatan dan adaptasi harus cepat dan mantap.Â
Jam 3 pagi, Kanisian masih tertidur dengan lelap di tempat peristirahatan mereka. *Tong tong tong* *Brak brak brak* Â "Bangun sholat sholat!" pun berkumandang dari para santri. Suaranya bagai konser rock metal, penuh dengan suara heboh. Kanisian pun terkaget mendengarkan ini. Sebagai bagian dari acara eskursi, Kanisian diperlukan untuk memperoleh pengalaman dari perbedaan ini. Mengikuti sholat, belajar malam, dan pembelajaran di sekolah yang ada di situ menjadi proses pembelajaran dalam menghadapi perbedaan dunia nyata secara langsung.