Apa hubungan klenik dan politik? Mungkinkah klenik yang ngurusi “dunia lain” terkait dengan politik yang hilir-mudikdi dunia riil? Pertanyaan ini cukup rumit. Tapi, mencermati gejala politik domestik belakangan, tiba-tiba saja secercah pemahaman tentangnya menyeruak di balik kabut yang menyelimuti benak saya selama ini. Barangkali saja itu berguna, walau secuil, untuk kita diskusikan lebih lanjut.
Dalam perspektif modern, baik klenik maupun politik sama-sama mekar di pekarangan budaya. Bahan dasarnya adalah daya kreatif manusia. Bedanya,klenik berasal-usul dari imajinasi. Sementara politik—tentunya yang dipahami dan dipraktikkan dalam wawasan picik keindonesiaan—dari ambisi. Status keduanya tentu saja netral sejauh sebagai potensi manusiawi bawaan orok (innate atau fitrah).
Melalui imajinasi, klenik memanipulasi dan menggiring kesadaran kita untuk fokus dan menghuni alam lain. Sedangkan berkat ambisi, politik menjelma sekadar sebagai ajang rebutan tahta kuasa, harta, dan massa belaka. Klenik karenanya sangat bermanfaat bagi politik, vice versa. Secara tradisional, klenik berguna untuk menggolkan ambisi politik. Sebaliknya, politik adalah lahan subur bagi klenik menjajakan cara-cara irasional dan potong kompas untuk berkuasa.
Selain itu, tak dapat disangkal bahwa dinding yang memisahkan dunia klenik dan politik kini sudah runtuh berkalang tanah. Gejala ini bukan saja ditandai dengan berbaur dan tumpang tindihnya kekhasan yang dipunyai masing-masing (misal, spekulasi yang khas klenik kini menjadi imperatif di ranah politik). Namun juga berkisar pada modus legitimasi keduanya.
Bicara klenik berarti bicara “penampakan”. Dalam kata-kata yang lebih elegan,“penampakan” merupakan dasar legitimasi klenikisme. Hanya dengannya, klenikus dapat mengklaim otoritasnya untuk mengakses alam lain. Sementara itu, politik domestik sekarang ini setali tiga uang dengan “pencitraan”. Lewat strategi ini, politik diubah menjadi sebentang panggung opera sabun. Para politikus jadi lakon, rakyat penonton. Alur ceritanya acapkali monoton. Tapi peduli setan. Yang penting efek, gimik, sampai dandanan lakon mampu menyihir dan memikat tatapan mata penonton.
Makna semantik penampakan klenik dan pencitraan politik jadinya identik satu sama lain; sama-sama tidak menyentuh realitas dan hanya bolak-balik dari satu tampilan ke tampilan lain. Seolah persoalan substansial bisa beres atau enyah dalam sekejap penampilan diubah atau dicitrakan sedemikian rupa. Atau lebih parah lagi, tak ada substansi apapun dalam konteks politik (misal, kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan sejenisnya), kecuali sebatas persoalan teknis dan kemasan. Fakta kemiskinan, misalnya, dipahami bukan lagi berakar pada ketidakadilan dan penindasan sistemik. Melainkan hanya soal “kesalahan prosedural-teknis dan kesan” semata (termasuk kesalahan si miskin).
Kalau dulu, kata seorang pujangga, “Kenyataan jauh lebih perkasa ketimbang ideologi sekalipun.” Sekarang, klaim seorang budayawan,“Citra jauh lebih perkasa dari kenyataan sekalipun!” Oleh karenanya, selamat datang di era imagologi (pencitraan atau penampakan) yang lahir dari perselingkuhan politik dan klenik. Di era ini, kemanusiaan no,kemasan yes; keadilan is nothing, penampilan is everything; kebenaran hanyalah ilusi, ketenaran adalah ambisi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H