Selain itu, ia juga kesulitan ketika liputan tsunami Aceh 2004 silam. Alhasil, Kompas mem-booking satu bilik warnet seharian untuk mengirimkan hasil liputannya.
"Saat itu kami harus mem-booking satu bilik warnet seharian biar tidak perlu mengantri lagi ketika hendak mengirimkan berita ke Jakarta tadi. Itulah tantangannya pada  era itu." kata Pak Haryo.
Namun dalam perjalanannya tadi, ia harus membiasakan diri dengan digital. Salah satu keputusan yang diambilnya adalah dengan kembali mengikuti kelas fotografi.
Hal ini dikarenakan untuk menjadi wartawan di platform digital tentu diperlukan keahlian dalma menulis berita, mengambil foto dan video juga melakukan live report. Berbeda di era Media Cetak yang mana hanya keahlian menulis yang dibutuhkan wartawan.
Bagaimanapun juga, tetap ada yang dapat disyukuri dari setiap kejadiannya. Di era yang serba canggih ini juga memudahkan wartawan untuk mengirim berita dari lokasi liputan. Didukung dengan gadget yang semakin mudah dibawa dan juga jangkauan sinyal yang jauh lebih baik dan sudah mulai masuk ke pelosok-pelosok.
Konsep 3M Kompas
Tentu kita sering mendengar konsep 3M yang digagas oleh Kompas yaitu, Multimedia, Multichannel dan Multiplatform. Sebenarnya konsep ini telah diterapkan sejak dahulu ketika menyadari internet itu mulai ada dan masuk ke Indonesia.
3M ini pada awalnya dimaksudkan dengan Kompas yang tak hanya berbentuk cetak, namun juga ada intisari, radio dan kompas.com yang sebenarnya sudah berdiri sejak tahun 1995. Namun Kompas.com sendiri tidak dilanjuti karena masyarakat Indonesia masih menggunakan Koran sebagai sumber informasi di era itu.
Sebelum adanya platform digital, ketika wartawan sudah mendapatkan berita, mereka masih memiliki waktu untuk mengendapkan berita tadi sembari mencari sumber-sumber lainnya. Misalnya dengan mencari narasumber lain.
Namun berbeda dengan sekarang, ketika paginya wartawan mendapatkan berita, siangnya berita tersebut sudah harus jadi dan terbit.