Mohon tunggu...
andy lesmana
andy lesmana Mohon Tunggu... -

Just writing and trying be a professional writer in my dreams...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Batal Demi Hukum

19 Oktober 2013   22:08 Diperbarui: 4 April 2017   16:40 20573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Administrasi Negara yang banyak mengadopsi ilmu hukum perdata sebuah ketetapan atau keputusan bisa dibuat secara sah dan tidak sah. Tidak hanya ketetapan yang dibuat badan administrasi Negara, dokumen hukum bias berbentuk UU atau peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian atau kontrak dan dokumen yang dibuat lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif ini bias dibuat secara tidak sah.

Sebuah ketetapan yang tidak sah menurut Utrecht, mengenal tiga macam yakni 1) batal (nietig/absolute nietig) 2). Batal demi hukum (nietigheid van rechtswege) 3). Dapat dibatalkan (verniegbaar). Ketetapan yang batal (neitig/absolute nietig) berarti bagi hukum perbuatan yang dilakukan dianggap tidak ada. Bagi hukum, akibat perbuatan hukum itu tidak ada sejak semula.

Sedangkan batal karena hukum atau batal demik hukum (nietigheid van rechtswege) berakibat suatu perbuatan untuk sebagian atau keseluruhan bagi hukum dianggap tidak pernah ada (dihapuskan) tanpa diperlukan suatu keputusan hakim atau keputusan suatu badan pemerintahan batalnya sebagian atau seluruh akibat ketetapan itu.

Untuk dapat dibatalkan (verniegbaar) berarti bagi hukum bahwa perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang berkompeten (pembatalan itu diadakan karena perbuatan tersebut mengandung sesuatu kekurangan). Bagi hukum perbuatan tersebut ada sampai waktu pembatalnnya dan oleh sebab itu itu segal akibat yang ditimbulkan antara waktu mengadakannya, sampai  waktu pembatalnnya, menjadi sah (terkeculi dalam hal undang-undang menyebutkan beberapa bagian akibat itu tidak sah). Setelah pembatalan maka perbuatan itu tidak ada dan bila mungkin diusahakan supaya akibat yang telah terjadi itu semuanya atau sebagiannya hapus.

Namun ada yang mengganggap bermacam ketetapan hanya dua bentuk, yakni batal dan dapat dibatalkan sedangkan batal demi hukum dianggap tidak diperlu, dikarenakan pembatalan ketetapan yang tidak sah hanya dapat dilakukan oleh hakim atau instansi adinistrasi yang lebih tinggi atau lembaga yang kompeten. Artinya tidak dimunkinkan sebuah ketetapan batal dengan sendiri tanpa pernyataan batal dengan akibatnya. Memang antara batal demi hukum dan batal memiliki banyak kesamaan bahwa perbuatan yang dilakukan dianggap tidak ada, baik sebagian atau keseluruhan.

Pada dasarnya dalam system hukum kita tidak mengenal ketetapan batal demi hukum dalam arti bahwa perbuatan demi hukum dalam arti bahwa perbutan dianggap tidak ada tanpa pembatalan yang dilakukan pengadilan atau intstansi yang kompeten. Contohya sebuah kontrak yang dianggap tidak memenuhi kuasa yang halal adalah batal demi hukum namun tanpa permohonan dan pernyataan pengadilan bahwa kontrak itu batal demi hukum maka kontrak itu belum batal demi hukum. Artinya ketetapan batal demi hukum memerlukan pembatalan oleh pengadilan, begitu pula sebuah peraturan perundang-undangan yang tidak sah adalah memerlukan pembatalan baik melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi atau dicabut sendiri oleh lembaga yang mengeluarkan ketetapan tidak sah tersebut. Meskipun sebuah UU atau peraturan perundang-undangan tidak memenuhi syarat tertentu sehingga batal demi hukum. Termasuk tidak ada batal demi hukum sebuah putusan pengadilan yang tidak sah tanpa melalui proses banding, kasasi atau upaya hukum lain atau upaya hukum luar biasa lainnya. Putusan pengadilan sebelumnya melalui upaya hukum yang lebih tinggi dapat dinggap benar atau justru dibatalkan atau diubah.

Kemudian dalam hal apa putusan pengadilan dapat dianggap batal demi hukum? Sebagaimana sesuai sustem hukum kita tidak mengenal ketetapan yang nietigheid van rechtswege. Sebuah peraturan perundang-undangan  yang tidak sah tidak dapat serta merta batal demi hukum  tanpa pernyataan pembatalan oleh hakim oleh pengadilan atau oleh instansi yang berwenang. Termasuk sebuah putusan dari pengadilan yang seharusnya batal demi hukum memerlukan pernyataan pembatalan.

Putusan pengadilan dapat batal demi hukum sebagaimana Pasal 13 atyat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain” ayat 2 menyatakan “putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”. Selanjutnya ayat (3) menyatakan “tidak dipenuhinya ketentuan sebagimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)  mengakibatkan putusan  batal demi hukum. “ Batal demi hukum sebuah putusan sendirinya sesuai dengan ajaran nietigheid van rechtswege. Sebagaimana sesuai ajaran nietigheid van rechtswege atau null and void yang tidak murni putusan pengadilan yang tidak terbuka untuk umum perlu upaya pembatalan dan pernytaaan resmi bahwa putusan pengadilan batal demi hukum.

Adapun dalam hukum acara pidana juga dikenal  sebuah surat putusan pemidanaan yang tidak memehuhi ketentuan yang ditetapkan Pasal 197 UU Nomor 8/1981  tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam huruf (A), sampai dengan huruf (L)  mengakibatkan putusan batal demi hukum. Ketentuan yang tidak dimuat ini membuat batal demi hukum yaitu:

a.Kepala putusan yang dituliskan  berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA,

b.Nama, lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa,

c.Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.

d.Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penuntuan kesalahan teardakwa.

e.Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.

f.Padal peraturan perundag-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.

g.Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tidak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.

h.Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuaan mengenai barang bukti,

i.Keterangn bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu jika terdapat surat otentik dianggap palsu.

j.Perintah suapaya terdakwa ditangkap atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan dan

k.Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.

Sesuai  pasal-pasal  dan penjelasan Pasal 197 KUHAP bahwa  apabila terjadi sebuah kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan putusan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengertian yang tidak menyebabkan  putusan batal demi  yakni ketentuan dalam huruf : b, c, d, g, I, j, k dan l. yakni antara lain ketika tidak mencantumkan  nama lengkap dakwaan, pertimbangan dan sebagainya, sedangkan ketentuan pada huruf a, e, f dan h, meskipun terdapat kekilafan dan atau kekeliruan menyebabkan putusan batal demi hukum yakni antara lain tidak memuat kepala putusan, tuntutan pidana, pasal peraturan yang menjadi dasar pemidanaan dan pemidanaan itu sendiri.

Dengan demikian, menurut ketentuan penjelasan Pasal 197 KUHAP  bahwa putusan pemidanaan yang tidak mencantumkan “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan “Karena kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan putusan atau pengertian putusan tidak membuat dan mengakibatkan putusan batal demi hukum. Sampai batas mana kekhilafan  dan atau kekeliruan penulisan putusan?

Menurut Yahya Harahap,  ditolerir kekeliruan penulisan status penahanan. Apabila dalam amar ptusan pemidanaan yang tidak mencantumkan “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” tidak termasuk dalam kekhilafan dan kekeliruan penulisan putusan. Pihak yang menyatakan tanpa status penahanan tidak membuat putusan batal demi hukum itu tidak benar apabila membaca KUHAP dengan utuh. Dengan tidak mencantumkan status penahanan maka dengan sendirinya tiada kehilapan dan kekeliruan maka seperti kesalahan membuat putusan tapi tiada putusan yang tidak dibuat sehingga tidak yang khilaf dan keliru, dari hal ini mestinya yang bisa ditolerir adalah yang  menyangkut  kesalahan ketik (clerical error), sedangkan jika tidak memuat “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam  tahanan atau dibebaskan” tidak termasuk dalam kategori yang membuat putusan batal demi hukum, dengan Putusan MK No. 69/PUU-X/2012. MK telah memaknai Pasal 197 ayat (2) huruf “k” KUHAP bahwa surat putusan pemidanaan yang tidak memuat status penahanan tidak menjadikan sebuah putusan pemidanaan yang tidak memuat status penahanan tidak menjadikan sebuah putusan pemidanaan batal demi hukum dengan demikian tidak mencantumkan ketentuan huruf k yakni “perintah suapaya terdakwa ditangkap atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan “ tidak membuat putusan batal demi hukum.

Selanjutnya apakah putusan batal demi hukum ini berlaku dengan sendirinya tanpa pernyataan  atau pembatalan siapa yang berwenang menyatakan batal demi hukum ?

Menurut Yahya Harahap berdasarkan ajaran Null and Void putusan batal demi hukum tidak mutlak sekalipun UU mengatakan putusan batal demi hukum, namun keadaan batal demi hukum tidak terjadi dengan sendirinya dengan keharusan dinyatakan resmi. Yang menyatakan resmi putusan batal demi  hukum jika putusan pengadilan negeri maka yang menyatakan adalah pengadilan banding jika putusan batal demi hukum dilakukan banding maka  pernyataan batal dilakukan oleh MA sedangkan jika putusan batal demi hukum dilakukan MA dalam tingkat kasasi dengan demikian MA yang berwenag secara resmi karena tidak mungkin pengadilan lain dibawah MA atau pembatalnya dilakukan oleh MK. Sedangkan dilakukan oleh MK sedangkan jika putusan MK yang batal demi hukum mestinya  pernyataan pembatalan tersebut dilakukan oleh MK sendiri.

Note : Miftahul huda, Batal Demi Hukum, Majalah Konstitusi Juni 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun