Mohon tunggu...
Abdullah Sammy
Abdullah Sammy Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti Strategi Manajemen dan Sejarah Politik UI

Peneliti Strategi Manajemen dan Sejarawan dari Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pantaskah Menteri Susi Dibela atau Dicerca?

31 Oktober 2014   23:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:00 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Seorang terpelajar itu harus adil sejak dalam pikiran." (Pramoedya Ananta Toer).

Tulisan ini sejatinya merupakan tulisan kedua yang harus saya salin ulang. Sebab di tulisan pertama, saya membuat satu kesalahan kecil. Naskah yang sudah saya ketik via ponsel android, mendadak hilang karena sebuah kesalahan sepele. Saat saya hendak meng-copy tulisan di notepad, saya salah menekan tombol. Justru tombol pasteyang tertekan, sehingga tulisan sepanjang lebih dari lima ribu karakter hilang dalam hitungan detik. Hmmmm...Ya, satu kesalahan tapi membuat semuanya buyar. Tapi saya memetik hikmah di balik kesalahan itu. Kesalahan copy itu jadi ide saya untuk membuka tulisan kedua saya ini.

Kesalahan yang ingin saya kaitkan dengan membahas sosok Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru, Susi Pujdiastuti. Akibat satu tindakan, bahasan soal Susi kini melebar kemana-mana.

Walhasil, Susi saat ini jadi buah bibir. Ada yang mencercanya habis-habisan. Tak sedikit juga yang membela.

Semua tak terlepas satu tindakannya yang keliru yakni merokok di kawasan Istana Negara. Dari satu kesalahan itu, menyebarlah ke bahasan-bahasan lain, mulai dari tato maupun kisah pribadinya. Dalam kesempatan ini, saya tak ingin menghakimi Susi. Karena saya maupun Anda belum tentu lebih baik dari Ibu Menteri nyentrik satu ini. Mungkin dia bertato ataupun kehidupan pribadinya penuh sensasi, tapi tak perlu-lah kita memperlebar persoalan. Cukuplah soal merokok di Istana yang jadi sorotan. Saya tak tahu, apa maksud Susi merokok di kawasan Istana. Pun halnya dua menteri lain, Hanif Dakhiri dan Marwan Jafar, yang juga sempat ditegur Paspampres akibat merokok. Mungkin mereka lupa kalau kini merekalah pejabat publik, yang mana segala tindak tanduk mereka diawasi dan jadi contoh bagi masyarakat. Pantaskah Menteri Susi Dibela atau Dicerca? Seorang pejabat publik merokok di ruang publik adalah tindakan yang tak bisa diterima dengan akal sehat.  Apalagi tindakan ini dilakukan di kawasan Istana Kenegaraan. Coba bayangkan jika kasus Susi, Hanif Dakhiri dan Marwan Jafar terjadi di negara maju. Bayangkan jika ada menteri di Amerika yang baru dilantik merokok di halaman gedung putih? Bisa jadi sang menteri didesak mundur oleh rakyatnya. Ya, di beberapa negara memang ada budaya bahwa pejabat publik bisa hancur kariernya akibat satu kesalahan prilaku. Salah satunya adalah wali kota Toronto, Rob Ford yang hancur karier politiknya akibat merokok dan minum minuman keras di area publik. Satu kesalahan yang membuyarkan semua prestasi. Namun Susi beruntung. Tindakannya tak separah Ford yang juga kedapatan mengonsumsi narkoba. Susi pun masih beruntung karena masyarakat masih menaruh harap dan rasa percaya. Tindakannya merokok di Istana masih tertutupi oleh prestasi dan reputasi masa lalu sebagai pengusaha yang merangkak dari bawah. Dari seorang pebisnis ikan di Pangandaran, Susi menjelma sebagai pengusaha besar di dunia penerbangan perintis di Nusantara. Tak hanya itu, jasa Susi saat membantu korban tsunami Aceh pun tak bisa dikesampingkan. Lantas pantaskah Susi dibela karena jasanya dibanding ulahnya di Istana?  Saya justru menilai, ini saatnya Susi harus terus dikritisi. Prestasi sebagai seorang pengusaha dan kemanusiaannya memang tak dimungkiri. Namun dia kini bukan lagi sebatas pengusaha, melainkan menteri Republik Indonesia.Menteri yang harus jadi contoh bagi tua-muda, maupun balita. Menteri yang sejatinya belum menampilkan kinerja sehingga aneh jika ada yang mengatakan, "Tak apa-apa merokok asal jujur." Atau kata-kata, "Lebih baik bertato jujur daripada berjilbab korupsi." Kata-kata itu yang mencerminkan ketidakadilan dalam berpikir. Bagaimana bisa dikatakan jujur jika bekerja sebagai menteri saja Susi belum melakukannya lebih dari tiga hari?Harus diakui banyak orang di Indonesia yang kini tak adil sejak dalam alam pikiran, apalagi saat berpendapat. Ini yang terjadi dalam kasus Susi. Yang anti-Susi berlaku tak adil karena menyeret-neyet urusan personalnya sebagai penilaian atas kinerja. Yang pro-Susi tak kalah tak rasionalnya dengan menihilkan kesalahan menteri merokok di Istana. Yang jelas kita semua kini menunggu kinerja Susi. Harapan kita sejatinya sama agar setiap menteri, termasuk Susi, menampilkan kinerja terbaiknya demi rakyat Indonesia.

Sejauh ini, Susi memang sudah bisa membuktikan bahwa dia adalah pengusaha hebat. Namun apakah dia pejabat publik yang hebat? Masih harus kita tunggu bersama. Yang jelas pejabat publik yang hebat tak akan lahir dari pujian melainkan hantaman kritikan. "Tak ada pelaut tangguh di lautan tenang."Selamat bekerja ibu Menteri, Susi Pujdiastuti.....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun