"Supri duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama Kelas 7. Tapi dalam membaca, menulis dan berhitung masih lambat. Dia sulit memahami pelajaran sedari dulu Sekolah Dasar. Oleh karena itu Supri cemas dengan nilainya saat lulus nanti. Entah harus bicara pada siapa untuk jujur, di usianya yang baru 12 tahun, dia masih belum pandai mengungkapkan isi hati dan pikirannya."
Anak-anak pagi itu telah duduk di tempatnya masing-masing, mengingat hari ini guru killer mengajar jam pertama di kelas mereka. Supri yang duduk di bangku paling depan merasa cemas. Supri gak seharusnya duduk di sini, tutur anak lelaki itu dalam hati. Sayangnya dia tidak dapat mengungkapkan itu langsung kepada ibunya ketika hari pertama masuk sekolah. Kendala membaca, menulis dan berhitung menjadi akar masalahnya.
Ketika semua anak mencatat apa yang ditulis guru di depan, Supri hanya bisa diam memperhatikan anak lain di sekelilingnya saja. Guru killer yang melihat itu menegurnya karena belum mencatat apa yang dirinya tulis di papan tulis.
“KENAPA KAMU DIAM?!” marahnya memasang wajah cemberut.
Supri membeku tak bisa merespon guru di hadapannya yang sudah menjadi setan bengis. Buk!. Rotan dipukul keras ke meja, anak itu terkejut bukan main gemetar di kursinya. Karena guru itu sudah jengkel, Supri disetrap tak boleh masuk selama jam pelajaran matematika. Mungkin dalam benak kita bertanya, mengapa supri tidak mengikuti pelajaran?. Alasannya karena Supri belum mampu mengikuti pelajaran di kelasnya dengan keterbatasan literasi yang dimiliki. Setelah jam pelajaran selesai, anak-anak di dalam kelas keluar. Tidak ketinggalan, sebelum menuju kantin mereka mengolok-olok Supri yang tidak mengikuti pelajaran di hari kedua masuk sekolah.
Selepas pulang sekolah, Supri mengurung diri di kamar, menangis sejadi-jadinya. Sang ibu yang mendengar tangisan itu menghampiri. “Kamu kenapa, nak?” tanya sang ibu sambil mengusap air mata Supri yang membasahi pipi. “Su-supri, g-gak mau se-sekolah.” Jawab Supri kecewa dan sakit hati dengan apa yang terjadi.
Anak laki-laki itu mengingat yang terjadi di sekolah. Setelah istirahat usai, Supri bolos kelas menghindari hal yang sama dengan guru lain di mata pelajaran berbeda. Di balik tembok belakang sekolah, dengan membawa tas, dia menangis sendiri larut dalam kesedihan sambil duduk bersandar. Trauma anak itu belum hilang saat menerima perlakuan yang sama dari guru dan teman-temannya seperti di sekolah dasar dahulu.
Supri masih belum lancar berbicara, dia bingung mengungkapkan isi hati dan pikirannya. “Sudah, kamu jangan nangis. Ibu mau pergi kerja dulu ke rumah Bu Ratri. Kamu jaga rumah baik-baik ya, Nak.”, sesingkat itu percakapan antara ibu dan anak di rumah, Supri tak pernah punya waktu untuk mengungkapkan apa yang dirinya rasa pada sang ibu ataupun bapaknya.
Ibu Mirna, ibu kandung Supri sendiri bekerja sebagai asisten rumah tangga, sedangkan bapaknya, Pak Karmin bekerja sebagai supir angkot. Mereka sama-sama berjuang untuk membesarkan Supri dengan baik. Hal itu tidak selalu berjalan mulus, banyak terpaan dan cobaan yang mereka hadapi.
Yang kurang dari didikan mereka pada Supri, yakni tidak pernah mengawasi langsung bagaimana anak mereka tumbuh dan beradaptasi di lingkungan sekolahnya bahkan sampai sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H