Mohon tunggu...
Ricardus A.B Asbanu
Ricardus A.B Asbanu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Memotret luka dalam aksara

Menulis adalah perjalanan paling pilu, berjejak dan awet dalam balutan waktu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Ambang Euforia

26 Oktober 2024   16:08 Diperbarui: 26 Oktober 2024   16:56 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Pribadi Penulis 

Selamat datang, mekarlah pada kelopak kemarau. Secuil definisi untuk Oktober yang hangat menyambut sepe di ujung rambut musim. Selain menatap pohon berbunga itu dengan kagum tanpa  kata, langkah perlahan ditata hingga menyisakan jejak dipundak musim.  Oktober kali ini sedikit ramai dengan perjumpaan bahkan kehilangan juga tak lupa menyempatkan diri. 

Bulan Oktober adalah bulan bahagia untuk komunitas pecinta sepe di suatu taman, berbagai kegiatan diramu dengan semangat yang meronta-ronta, ketua komunitas  dengan semangat menemui kepala penjaga taman untuk mengkoordinasikan hal-hal teknis tentang bulan bahagia itu. Ketua belum sempat mencetak SK(surat kembang) untuk mempertimbangkan ketua yang pantas menafkahi kegiatan yang terbaring  berserakan diemperan Oktober. 

Effort berkedok kemunafikan yang ditunjukkan dengan sepenggal pencitraan, kepala panjaga taman  terlanjur jatuh hingga membacakan surat pengangkatan, kegiatan yang diramu dengan rona yang menyilaukan tatapan sempat mengalahkan pelangi namun, pada pundak waktu kurang beberapa detik sebelum santap malam bersama Ketua menghilang,  meja hidangan hanya birisi secangkir kehampaan dengan sebongkah kekecewaan diatas meja hidangan. 

Kepala penjaga taman naik pitam mengelak dan seakan bola matanya berbinar setelah perayaan kemunafikan itu disaksikan dengan serius. Jemarinya perlahan menarik lembaran yang ternoda  tinta hitam hingga menghunusnya tanpa ampun dan terbelah menjadi dua keping. Euforia dihentikan sementara waktu, detik dilobi untuk untuk dijeda bahkan permintaan maaf berterbangan menghiasi kotak-kotak obrolan.  

Selang beberapa tetes penyesalan menyelami puncak amarah, anggota komunitas bersulang didepan kepala penjaga taman sambil mengurai air mata memohon dengan penuh pencitraan. Air mata, cemas, dan gelisah menjelaskan segalanya. Iba tersentuh hingga tersentak pada lubuk tombak penjaga taman itu hingga kemudian terbentur kata-kata yang tersemat bersama derai air mata anggota komunitas, kapala dusun menyeleksi Ketua komunitas baru sebab sesungguhnya kehilangan adalah awal untuk pertemuan baru, tanpa memerkosa penyebab kehilangan sebab ketelanjangan pikiran adalah hal utama dalam komunitas jika kepergian itu berselimut maka biarkan temui tujuannya tanpa kembali dengan sebingkis alasan atau semerbak maaf.  

Memutuskan tanpa menimbang perayaan kembali dilanjutkan pada malam yang kesekian setelah setelah jeda waktu. Kali ini staf security dibekali kata-kata untuk mengawasi tanpa modal  tongkat kecuali niat menutupi kebal muka. Ketua baru bermental baja itu melelehkan semangat tetes demi tetes, perayaan kembali dinikmati hingga puncak klimaks kegiatan pertama, anggota komunitas mulai gerah dan staf security yang berkejaran diburu waktu. Pertakaian mulai bermunculan hingga persepsi sudah tak lagi sejalan, setapak kecil bermunculan euforia makin kritis ditangan Ketua komunitas yang baru. 

Oktober sudah tak lagi meriah kata-kata mulai mmenggores hingga menyisakan luka pada lubuk. Pada akhirnya Oktober hanya panggung pementasan ego dan perayaan itu hanya sebatas ego komunitas yang dipertahankan dengan kemunafikan dan pencitraan penuh. Keesokan harinya kepala penjaga  jatuh tertimpa kata-kata, Ketua komunitas mati tertimbun rancangan agenda. 

Sesungguhnya kepergian adalah kehilangan sederhana yang tak bisa diganti dengan rupa apapun melalui cara apapun, cukup kenang sebagai pertemuan paling melelahkan yang pernah disaksikan semesta. Kehilangan mesti dirayakan dengan semerbak kenangan tanpa harus menyajikan semangkuk dilema untuk menggantikan sarapan pagi yang bangun kesiangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun