Yang namanya umur, jodoh, karir, itu memang sudah ditentukan. Kapan kita lulus kuliah, bekerja, menikah, punya anak bahkan meninggalpun, kita tidak pernah tahu datangnya kapan. Bayangannya, begitu lulus kuliah, langsung diterima bekerja di perusahaan yang terkenal, sesuai dengan apa yang kita pelajari di bangku kuliah, punya karir yang bagus dan seterusnya dan seterusnya. Tapi, apa iya semudah itu? Begitu pula dengan jodoh. Bertemu dengan orang yang sesuai dengan kriteria pribadi yang diimpikan, atau malah ekstrimnya seperti impian anak kecil, menikah dengan pangeran yang menunggang kuda putih (nah kalau yg ini pastinya ga jauh-jauh dari era putri salju atau cinderella. Coba kalau anak sekarang, pasti dengan Edward Cullen lah..) Inginnya yang gagah, berkulit putih, mapan, punya mobil dan rumah, mungkin itu adalah kriteria calon suami yang diinginkan. Atau mungkin yang slenge'an, kumal, dekil, berkulit sawo matang atau juga seorang musisi, artis, seniman atau apapun itu pastinya masing-masing dari kita punya tipe ideal siapa sosok pria yang bakal mendampingi kita. Tapi apa iya kita harus ngoyo untuk mendapatkan yang benar-benar sesuai dengan kriteria kita? Atau justru pasrah saja dan meyakini bahwa pasti akan ada seseorang yang kelak akan menjadi pendamping hidup kita? Awalnya, pria yang saya inginkan menjadi pendamping hidup adalah yang tidak terlalu putih, berkacamata, dan pintar pastinya. Yang dimaksud pintar disini adalah nyambung kalau diajak ngomong dari yang urusannya remeh temeh sampai mikirin inflasi, dari gosip artis sampai masalah elite politik (hehehe.. yah pokoknya itu requirement wajiblah, jangan sampai diajak omong cuma bisa plonga plongo doang. Padahal saya juga gak pinter-pinter amat koq, standarlah). Saya juga gak butuh orang yang bisa menjelaskan tentang hukum relativitas atau membahas mengenai karya-karya seorang Leo Tolstoy Rasa berbunga-bunga sedang jatuh cinta sampai patah hati juga sudah pernah saya rasakan. Pengalaman yang terakhir sebelum akhirnya ketemu dengan mantan pacar yang akhirnya menjadi suami saya menyisakan beberapa trauma. Bahkan saya sampai berani berucap meskipun hanya dalam hati saya bahwa saya tidak mau punya suami yang berasal dari salah satu kota di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah hanya karena dia berasal dari daerah tsb. Tapi sekali lagi bahwa mulutmu harimaumu. Itulah yang terjadi lagi pada diri saya. Batasan kriteria-kriteria yang saya buat sendiri akhirnya berbalik menjadi kenyataan. Suami saya akhirnya asli orang Cirebon. Dulu, waktu SMA, saya pernah skeptis thd salah satu SMA negeri unggulan di Jakarta karena ada sahabat saya yang satu SMP dengan saya akhirnya mengalami perubahan drastis karena masuk ke SMA tsb. Dan yak (drum please....), suami saya ternyata satu almamater SMAnya dengan sahabat saya itu. heemmm suatu kebetulan lagi bukan? Oh ya, saya juga sebenarnya tidak menginginkan suami dengan background pendidikan ekonomi. yah karena saya merasa, keluarga saya kebanyakan sarjana ekonomi, jadi koq ga ada yang luar biasa ya kalau saya bersuamikan sarjana ekonomi juga. Dan guess what? Yup, suami saya seorang sarjana ekonomi. Dan sejumlah kebetulan-kebetulan lainnya yang mungkin akan sangat banyak dan panjang jika diceritakan. Apa iya saya termasuk aliran yang kedua? Yaitu golongan yang pasrah dan yakin bahwa nantinya akan ada yang bakalan mendampingi kita? Gak juga koq. Itu jawaban saya. Saya memang gak pernah ngoyo tapi juga gak pasrah-pasrah amat. Yang pasti ketikaitu saya merasa klop dan sudah satu visi, maka yang lainnya bisa dikompromikan. Tapi yang jadi requirement wajib, itu menjadi benang merah yang gak boleh untuk dikesampingkan. Untungnya suami saya ini bisa diajak ngomong masalah apapun alias gak bakal malu-maluin kalau dibawa kondangan (pletak.. emang hidupmu cuma buat kondangan aja?dilempar sama telenan kayu) Dulu saat masih belum dalam status perkawinan alias masih pacaran, pembawaan saya temperamental, gak sabaran, ingin menang sendiri alias egois. Waktu itu almarhumah ibu sempat berujar saat melihat calon suami saya yang dimatanya adalah seorang yang penyabar dan selalu mengalah,"Kamu jangan terlalu pemarah, nanti orangnya kabur lho". Tapi seiring dengan waktu, melalui proses pendewasaan juga mungkin ya, perlahan segala emosi dan temperamental saya mulai berkurang, kami mulai bisa menyeimbangkan satu sama lain. Menjadi peri saat yang lain sedang keluar tanduknya. Menjadi gate keeper saat yang satunya sangat berambisi menjadi striker. Baik saya maupun dia sama-sama berubah. Saat saya sedang merasa down, dia yang menjadi pemompa semangat, saat dia sedang labil, saya yang coba menjaga keseimbangan dirinya. Dari situ saya beranggapan bahwa kehidupan berumah tangga bukan hanya sekedar kehidupan dua anak manusia yang bertujuan regenerasi, tapi lebih dalam dan lebih luas dari itu. Bukan hanya sekedar yang satu mencari nafkah untuk membiayai kehidupan rumah tangganya, sedangkan yang satu lagi sibuk memutar otak mengakali bagaimana caranya menghidangkan makanan yang enak dan bergizi di saat harga cabai sedang melambung tinggi. Baru-baru ini, saya mendapatkan satu pencerahan dan itulah yang kemudian menjadi pedoman hidup saya dan (sedang saya coba tularkan juga pada )suami yaitu Allah SWT memberikan segala sesuatu bukan yang diinginkan oleh ummatNya, tapi yang dibutuhkan. [caption id="attachment_213768" align="alignright" width="300" caption="Absolutely, he is my soulmate"][/caption] Jadi, kalau saya bertemu dengan teman lama saya dan dia bertanya, "Apa ini suami kamu?" Maka dengan tegas saya akan menjawab, "No, he is my soulmate" Dedicated to my soulmate yang sedang sibuk memperjuangkan karirnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H