Nomor Peserta; 339
Ibu, 20 tahun silam seorang anak lahir dari rahim sucimu. Rahim yang sembilan bulan menjadi tempat tinggalku, lalu dengan pertaruhan nyawa engkau melahirkanku. Engkau adalah sosok penerang dalam kegelapan jalanku. Seorang ibu yang melahirkan, merawat, mendidik dan mengajariku berbagai hal sejak aku lahir pada pagi menjelang siang di hari Jum’at Pahing, tanggal 19 Maret 1993 Masehi dan bertepatan dengan tanggal 27 Ramadlan 1413 tahun Hijriah. Tepatnya sejak Mbah Dukun War, satu-satunya dukun bayi di kampung kita, membantu proses persalinan. Maklum, aku lahir di kampung yang belum mengenal dokter bersalin. Jangankan dokter, puskesmas saja belum dibangun. Apalagi Rumah Sakit Ibu dan Anak, mustahil akan ditemui di kampung yang jarak tempuh dari keramaian kota mencapai 60 KM.
Bayi itu engkau beri nama Muhammad Ali Murtadlo. Muhammad adalah nama nabi agung, manusia mulia dan terpuji disisi Allah yang menyebut namanya saja dinilai ibadah. Ali adalah nama salah satu khulfa’ur rasyidin yang nabi Muhammad pernah mengatakan bahwa “Ana madinatul ilmi wa aliyu babuha”, Aku adalah gudangnya ilmu dan Ali adalah pintunya. Sedangkan Murtadlo mempunyai arti yang diridloi. Secara umum arti namaku adalah orang terpuji, pintu dari segudang ilmu dan diridloi Allah SWT. Dengan nama itu, ibu berharap, kelak aku akan menjadi orang yang bermanfaat.
Aku tak bisa membayangkan betapa kecilnya tubuhku ketika baru dilahirkan. Menurut salah seorang tetangga, aku terlahir dengan berat kurang dari 1,5 Kg. Bahkan, kata kakakku yang 6 tahun lebih dulu lahir, aku seperti botol minuman, kecil, mungil dan melihatnya saja akan merasa iba. Dan saat ini, berkat kasih sayang seorangmu aku tumbuh besar layaknya anak-anak lain seumuranku. 20 tahun bukanlah waktu sebentar untuk merawat seorang anak. Jika dikalkulasikan, sudah miliran kasih sayang dan jutaan uang yang telah tercurahkan. Terima kasih ibu, engkau telah merawat, mendidik dan memberiku segalanya. Kasih sayangmu tak akan pernah ku lupakan.
Masa kecilku mungkin tak seberuntung masa kecil teman-teman sebaya. Ketika kebanyakan teman asyik bermain, aku harus membantumu, ibu. Ibu yang saat itu belum mempunyai pekerjaan tetap. Hanya sebagai buruh tani, pekerjaan musiman yang tidak menentu. Jika musim padi, ibu ikut kerja menanam, meyiangi bahkan ikut memanen di sawah orang lain. Jika musim kemarau, terkadang ibu ikut bekerja sebagai buruh penanam tembakau, kedelai atau kacang. Itu pun ketika pulang dari sawah, ibu selalu membawa rumput untuk makan kambing dan sapi. Tak jarang, bahkan setiap hari aku juga mencari rumput untuk meringankan beban mu. Tapi itu tak sebanding dengan jerih payahmu.
Semenjak aku duduk di bangku Madrasah Ibtida’iyah (MI) kita sudah harus merasakan pahit-getirnya perjuangan hidup. Ketika kebanyakan teman sebelum berangkat sekolah pasti diberi uang saku, aku harus rela berangkat tanpa membawa uang saku. Ibu hanya bilang “Engko nek istirahat muleh ae, mangan, buk-e gak nduwe duek” (Nanti kalau istirahat pulang saja, makan, ibu tidak punya uang). Karena memang rumahku tidak begitu jauh dari sekolah, hanya sekitar 200 Meter. Tapi sesekali ketika ibu punya uang pasti aku akan diberi tanpa harus meminta.
Aku jarang sekali meminta uang saku, karena aku tahu ketika ibu punya uang, pasti tanpa diminta aku akan ibu kasih. Itu berlaku sampai aku duduk di bangku MTs (SMP) bahkan sampai lulus MA (SMA). Dan Alhamdulillah, saat ini aku bisa mengenyam pendidikan tinggi di Kota Metropolitan, berkat do’a ibu. Aku mendapatkan beasiswa pendidikan berkat kegigihanmu, berdo’a setiap menjelang tengah malam. Mungkin ini berkat kesabaran yang dulu pernah kita rasakan. Aku yakin bahwa Tuhan punya rencana indah dibalik skenario hidup yang memprihatinkan.
Saat duduk di bangku TK (Taman Kanak-Kanak) aku pernah minta ditunggu ibu sampai sekolah selesai, padahal saat itu ibu harus ke sawah. Maklum sewaktu TK aku menjadi anakan kalahan. Aku sering menjadi bahan usilan dan ejekan temen-temen, itu berlangsung sampai kelas 2 MI. Namun ketika kelas 3 dan seterusnya sampai lulus MI, integritasku mulai diperhitungkan, mereka yang sering ngusilin dan berlagak jahat berubah menjadi segan dan baik, karena mereka sering minta nyontoh mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah). Apalagi ketika aku selalu meraih ranking 1 sejak kelas 4 MI, aku semakin disegani. Artinya aku sudah tidak lagi menjadi bahan kalahan, bahkan menjadi siswa panutan. Ketika lulusan MI, aku juga termasuk wisudawan terbaik, meskipun hanya bersaing dengan 21 anak dalam satu kelas. Setidaknya itu bisa membuat bangga diri sendiri, terlebih membuat bangga orang tua. Itu semua adalah berkat kegigihan, kasih sayang, pengorbanan dan do’amu, ibu.
Setelah lulus MI, aku bingung harus meneruskan sekolah ke mana. Temen-temen kebanyakan melanjutkan di Mts Ampel, Banjarjo. Ada juga yang di SMP Wali Songo. Banyak juga yang di SMP Negeri Sumberjo. Akhirnya, Tanpa sepengetahuanmu, aku mendaftarkan diri di MTs At-Tanwir. At-Tanwir yang pada saat itu terkenal dengan biaya yang mahal sempat membuat ibu tidak setuju dengan rencana itu. Namun ketika aku meyakinkan bahwa pasti ada jalan selagi ada kemauan, biaya bisa dicari sambil jalan. Akhirnya ibu mengizinkan.
Sejak aku dinyatakan masuk dan diterima menjadi siswa Mts At-Tanwir, aku berkomitmen untuk tidak mengecewakanmu, ibu. Aku harus lebih semangat membantu ibu bekerja. Pada saat itu, pekerjaan yang harus kita lakukan setiap hari adalah membungkusi krupuk, di rumah tetangga yang kebetulan punya pabrik krupuk (sekarang sudah gulung tikar). Setiap malam terkadang kita baru pulang pukul 22:00 WIB.
Bayaran yang kita terima pun tidak sebanding dengan kerja keras yang harus kita lakukan. Bayangkan 25 bungkus krupuk (1 bendel) hanya dibayar Rp. 100. Untuk bisa mendapat Rp. 5.000 saja tiap hari, kita harus mampu membungkus 1.250 bungkus krupuk. Biasanya, kita hanya mampu mendapat rata-rata 3.000/Hari. Tapi tanpa disangka dengan pekerjaan itu, engkau dapat membiayai sekolahku, membelikan seragam, melunasi pembayaran LKS, sampai bisa memberiku uang saku.
Lokasi sekolah yang lumayan jauh, sekitar 10 KM dari rumah membuat ibu tidak tega kalau harus jalan kaki. Akhirnya, hasil kerja keras itu, ibu membelikan aku sepeda pancal. Aku masih ingat mereknya “Siroco” warna merah. Meskipun tidak bagus-bagus amat, namun Siroco ini berjasa sekali bagiku dalam hal proses mencari ilmu. Sepeda inilah yang menemaniku setiap hari untuk pulang-pergi ke sekolah. Bahkan, ibu selalu khawatir ketika jam sudah menunjukan waktunya pulang dan aku belum sampai di rumah. Bahkan, ibu selalu menyambutku dengan senyuman ketika sampai di rumaha dan aku kelelahan karena mengayuh sepeda.
Saat ini aku sudah merasakan kerasnya kehidupan di Kota Metropolitan. Harus beradaptasi dengan berbagai jenis, karakter manusia, harus bisa bersikap lebih dewasa. Namun aku yakin, setiap hari, setiap malam, bahkan setiap detik, ibu pasti mendo’akanku. Dan aku pun demikian, setiap hembusan nafasku selalu ada namamu, ibu.
Terakhir, di Hari Ibu, 22 Desember 2013 ini, aku ingin mempersembahkan puisi untukmu, ibuku tercinta. Judulnya “Untukmu Ibu”.
Untukmu ibu
Yang kesekian kali selalu menyayangiku
Yang selalu mengajariku arti kehidupan
Bahwa hidup memang untuk dijalani apa adanya
Untukmu ibu
Yang sampai kapanpun mencintaiku
Yang selalu mengajariku arti perjuangan
Bahwa berjuang adalah sebuah keharusan
Untukmu ibu
Yang tak pernah lelah mengasihiki
Yang selalu mengajariku arti kesabaran
Bahwa sabar adalah mantra jitu mengatasi permasalahan
Untukmu ibu
Yang setiap saat mendo’akanku
Yang selalu mengajariku arti kesuksesan
Bahwa sukses adalah sebuah keniscayaan
Lagu rindu ini untukmu ibu
Ku dendangkan khusus di saat aku
Menangis memikirkan hidup
Merenung mengartikan perjuangan
Merengkuh merasakan kesabaran
Untuk sebuah kesuksesan
Yang akan ku persembahkan untukmu
Ibuku tercinta.
Surabaya, 22 Desemeber 2013
Muhammad Ali Murtadlo
- NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (http://www.kompasiana.com/androgini)
- Silahkan bergabung di group FBFiksiana Community (https://www.facebook.com/groups/175201439229892/)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H