Mohon tunggu...
Aldo Kawulur
Aldo Kawulur Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Saya Aldo, manusia biasa yang senang berbagi pengetahuan juga pandangan. Terkadang, saya juga mebaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kontradiksi Semangat Pendidikan dan Kebijakan Pemerintah

6 Juni 2024   08:06 Diperbarui: 6 Juni 2024   08:13 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada awal bulan mei kemarin, tepatnya di hari pendidikan, saya telah menulis terkait sempitnya ruang pendidikan dalam negeri khususnya pada perguruan tinggi. Namun, beberapa hari belakangan ini, sosial media saya telah diselimuti dengan informasi terkait kebijakan kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) pada beberapa PTN. Kebijakan itu kemudian memantik amukan mahasiswa. Mereka beramai-ramai memenuhi halaman gedung rektorat masing-masing untuk melantangkan suara demi menolak kebijakan tersebut.

Tidak hanya sampai disitu, Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) telah mengadukan perkara itu dalam rapat bersama dengan Komisi X DPR RI pada 16 mei lalu. Selain berkeluh kesah terkait kenaikan UKT di beberapa kampus negeri, mereka juga meminta untuk Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 ditinjau kembali. Mereka menilai bahwa Permen tersebut menjadi dalang utama yang memberi ruang pada kampus negeri untuk menaikan UKT sesuka hati.

Setelah saya telusuri, ternyata memang ada beberpa kampus negeri yang telah mengeluarkan kebijakan menaikan UKT pada tahun ajaran 2024/2025. Beberapa kampus tersebut diantaranya adalah Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Universitas Brawijaya, dan masih banyak lagi. Fenomena itu kemudian menggelitik otak saya untuk kembali berpendapat tentang pendidikan dalam negeri ini.

Saya kira memahalkan biaya kuliah pada kampus negeri itu bukanlah kebijakan yang bijaksana dalam negeri yang keadaannya masih seperti ini. Hal itu hanya akan menambah beban bagi negara untuk memajukan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Kesejahteraan sosial. Dua hal yang menjadi amanat konstitusi.

Saya melihat ada semacam kontradiksi pemerintah dalam mengurusi pendidikan di negeri ini, khususnya pada perguruan tinggi. Syarat mutlak dalam kemujuan SDM dan kesejahteraan sosial adalah masyarakat yang berpendidikan. Pemerintah sangat menyadari hal itu. Mereka, terutama Menteri pendidikan dan kaki-tangannya hampir setiap saat menggaungkan semangat pendidikan supaya dapat terus mendorong minat masyarakat untuk berpendidikan hingga ke perguruan tinggi.

Sayangnya, semangat yang terus dikumandangkan tersebut tidak selaras dengan ketersediaan bangku di perguruan tinggi. Apalagi, ditambah dengan biaya kuliah pada kampus negeri yang terus melajit, yang hampir tidak ada bedanya dengan biaya pada kampus swasta.

Seharusnya, jika pemerintah seruis dalam meningkatkan SDM dan kesejahteraan sosial, kampus negeri yang di bawah naungan langsung pemerintah dapat menjadi penyelamat bagi masyarakat miskin untuk dapat menempuh pendidikan tinggi. Pasalnya, masrakat tersebut sangat sulit mendapatkan bangku perkuliahan di kampus swasta karena hampir tidak ada ruang negosiasi terkait biaya perkuliahan.

Jika kita tarik persoalan ini hingga pada masyarakat miskin desa, maka hal tersebut akan menjadi sangat kompleks. Mereka tidak hanya mempertimbangkan persoalan biaya yang telah ditetapkan oleh kampus, melainkan hingga pada biaya hidup di kota tempat kampus tujuan mereka. Sudah banyak penelitian telah membuktikan hal tersebut, salah satunya penelitian dari Lestari, dkk (2019). Hasil penelitian mereka menunjukan bahwa beberapa masyrakat desa yang menjadi objek penelitian, terpaksa mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pendidikan di bangku perkuliahan karena persoalan biaya.

Padahal, jika masyarakat miskin tersebut dapat meraih pendidikan tinggi, mereka tidak hanya menaikan angka kualitas SDM dalam negeri. Mereka juga dapat mengangkat ekonomi keluarga dengan memperoleh pekerjaan yang hari ini kebanyakan mensyaratkan pekerja dengan minimal gelar diploma atau sarjana.

Jika pemerintah benar-benar serius dalam menjalankan amanat konstitusi dan meraih visi Indonesia emas di tahun 2045, maka pemerintah tidak boleh abai dengan persoalan ini. Harus diingat bahwa jumlah masyarakat miskin di Indonesia pada tahun 2023 yang dipublikasikan oleh BPS masih sebanyak 25,90 juta jiwa dan mayoritas pendidikan mereka tergolong rendah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun