“Tidak nak, coba lihat ini ikan badut. Bapak jadi ingat waktu kamu kecil, kamu menangis ingin memeliharanya, memaksa Bapak untuk membawanya pulang dan minta dibuatkan aquarium.”
“Kalau sekarang untuk apa, Pak? Rumah ku sudah penuh dengan perabot rumah.”
“Ya sudahlah, Bapak lepaskan saja, dikirain kamu mau memeliharanya.” Jawab sedih sang Bapak.
Si anak masih bersikeras memaksa sang Ayah untuk hidup bersamanya di kota. Menurutnya kehidupan di kota jauh lebih baik daripada harus memancing setiap hari dilaut yang sudah dipenuhi dengan sampah plastik, Styrofoam, kaleng bekas, dan sampah lainnya.
“Bapak mau tetap disini. Membiarkan seumur hidup Bapak dekat dengan laut. Disini Bapak bisa melihat ombak, merasakan udara laut. Semua itu membuat Bapak tenang.”
Setelah mendengar pernyataan sang Ayah, ia tetap kekeh menginginkan ayahnya tinggal di Kota. Saat si anak berusaha menjelaskan suasana yang ada di kota, tiba-tiba sang Ayah kembali mengangkat jaringnya sambil berseru.
“Nak lihat! Bapak dapat ikan lagi.”
Si anak mulai bosan dengan tingkah laku ayahnya, sampai ia tidak memberikan jawaban sama sekali.
“Ternyata ini ikan tongkol, nak! Kamu ingat tidak? Saat Bapak membawa pulang ikan tongkol yang banyak kemudian ikannya dimasak oleh Ibumu. Kamu sangat senang sekali dan tidak sabar untuk menyantapnya, karena ikan ini adalah makanan kesukaanmu saat itu, dan kamu berkata bahwa masakan Ibumu adalah yang terlezat.” Ungkap sang Ayah sambil menitihkan air mata
Si anak terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa sambil ikut menitihkan air matanya saat mengingat masa itu. Lalu sang Ayah mengahampiri anaknya dan memeluknya dengan erat sambil berkata.
“Laut sudah berubah, tidak seperti dahulu. Waktu itu ya, Bapak sama kamu selalu mendapatkan ikan yang banyak, ikan-ikan berkumpul dalam laut yang bersih, laut yang disukai ikan-ikan. Mereka bermain, bercanda, bahkan ada yang melompat ke udara, dan wajah bahagiamu terlihat pada saat itu. Kau juga senang membiarkan tanganmu terhempas oleh ombak, Kamu tertawa Ketika airnya mengenai wajahmu. Lalu kamu berdiri di depan kapal, berlagak seperti pelaut di film-film, rambut yang terurai tertiup angin bertertiak “AKU ADALAH SEORANG PELAUT” dan Bapak tertawa mendengarnya. Ketika sore kita selalu melepas lelah diantara matahari yang akan terbenam. Kamu ingat tidak?.”