Apa itu metode ilmiah dan bagaimana cara kerjanya berbeda dari metode penyelidikan lainnya?, seperti yang kita ketahui bahwa, sains bersifat empiris tetapi ini tidak bisa menjadi satu-satunya ciri pembeda. Ilmu pengetahuan telah berkembang selama berabad-abad. Awal mula itu pada dasarnya melibatkan pengamatan yang dilakukan oleh pikiran-pikiran yang ingin tahu. Seiring berjalannya waktu, pengamatan dikenakan pada pengukuran dan metode diciptakan untuk melakukannya dengan akurat. Kemudian, pengamatan yang tampaknya tidak terkait dihubungkan oleh generalisasi atau teori. Proses yang sama terjadi selama evolusi suatu teori tertentu.
Tahap awal pengembangan suatu teori cenderung mencari konfirmasi dari teori tersebut. Ini pada dasarnya adalah pendekatan induktif. Dalam istilah sederhana, induksi melibatkan membuat serangkaian pengamatan dan kemudian berusaha untuk mencapai generalisasi dari pengamatan tersebut. Salah satu filsuf besar ilmu pengetahuan, Karl Popper, dalam bukunya Conjectures and Refutations (Popper, 2002), telah menunjukkan bahwa induksi bukanlah metode yang valid untuk mengembangkan pengetahuan.
Analisis induksi Popper mengikuti pemikiran Hume, yang menunjukkan bahwa induksi tidak dapat dibenarkan secara logis. Dasar analisis Hume adalah bahwa teori induksi mengarah pada regresi tak berujung yang didasarkan pada pengulangan. Setiap interpretasi dari sebuah pengamatan didasarkan pada interpretasi sebelumnya dari sebuah pengamatan. Popper mengusulkan agar teori induksi digantikan oleh konsep yang berbeda. Alih-alih menunggu secara pasif agar pengulangan memaksakan keteraturan pada kita, kita berusaha untuk memaksakan keteraturan pada dunia dalam bentuk hipotesis. Dalam metode hipotetiko-deduktif, sebuah tebakan yang terinspirasi (konjektur) atau hipotesis dibuat untuk mencoba menjelaskan pengamatan. Eksperimen kemudian dirancang untuk menguji hipotesis. Alih-alih mencoba untuk mendapatkan konfirmasi, eksperimen-eksperimen ini bertujuan untuk mengujinya secara mendalam.
Perlu dicatat bahwa ada banyak tokoh selain Popper yang telah memberikan kontribusi penting dalam filsafat sains. Sebagai contoh, Thomas Kuhn (1962), dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions, menyatakan bahwa ilmu pengetahuan berkembang tidak melalui akumulasi linear pengetahuan baru tetapi melalui revolusi periodik di mana terjadi transformasi yang tiba-tiba, yang kemudian disebut sebagai pergeseran paradigma. Filsuf sains terkemuka lainnya yang telah menyumbangkan buku termasuk Stephen Toulmin (1953), Carl Kordig (1975), Paul Feyerabend (1975), dan Norwood Hanson (1958).
Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara kedua metode tersebut. Sedangkan dalam pendekatan induktif, pengetahuan ilmiah diklaim berkembang dari pengamatan menuju teori, dalam metode hipotesis-deduktif, ia berkembang dari teori menuju pengamatan. Alih-alih menunggu keteraturan muncul, para ilmuwan secara aktif berusaha untuk memaksakan keteraturan pada alam. Ini kemudian mengarah pada pengujian kritis yang tidak sembarangan atau kebetulan, tetapi dilakukan dengan niat untuk menguji validitas hipotesis. Seringkali, alam menolak dan hipotesis tersebut dibantah. Sebuah bantahan tidak seharusnya dianggap sebagai kegagalan. Ini berarti penghapusan satu kemungkinan penjelasan dan merangsang pemikiran lebih lanjut yang bertujuan untuk menciptakan hipotesis baru.
Hipotesis tidak dapat dibuat dari ketiadaan. Hipotesis harus didahului oleh pengamatan dan upaya untuk menggeneralisasikannya. Dengan demikian, induksi berperan dalam sains. Induksi memberikan informasi yang dibutuhkan untuk membentuk hipotesis. Dengan demikian, induksi dapat dianggap sebagai tahap awal dalam evolusi teori ilmiah. Proposisi yang diperkenalkan oleh Popper merupakan titik balik yang krusial dalam pemahaman metode ilmiah. Sangatlah penting untuk memeriksa bagaimana ia sampai pada titik ini. Pada awal abad ke-20, Popper bergulat dengan apa yang disebutnya sebagai masalah "demarkasi". Ini adalah masalah tentang bagaimana membedakan antara sains dan nonsains atau pseudosains. Dia melihat masalahnya bukan untuk memutuskan apakah sebuah teori atau hipotesis itu benar, melainkan untuk mencari kriteria untuk menentukan apakah itu ilmiah atau tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H