Mobil itu hanyalah kendaraan satu-satunya yang mereka miliki. Sebelumnya Ben memutuskan untuk menjual Mercedes E class miliknya karena ia terpengaruh gimmick yang ditawarkan oleh nyaris seluruh produsen EV, yaitu kendaraan ramah lingkungan dan syarat teknologi masa depan.
Ben kesal, karena di saat genting kendaraannya tidak dapat digunakan. Akhirnya ia beserta anak istrinya menumpang di kendaraan tetangga mereka, sebuah SUV Toyota 4Runner yang meminum bahan bakar fosil.
***
Skenario di atas benar-benar terjadi, dan Ben tidak sendirian. Ada banyak orang seperti Ben dengan masalah yang sama saat menghadapi bencana yang tengah melanda tersebut.
Sadar akan masalah seperti ini, CEO Tesla Motors, Elon Musk, melalui akun Twitter-nya mengimbau agar para pemilik Tesla memasang alat penampung daya bertenaga matahari yang disebut Tesla Solar Powerwall untuk menanggulangi pemadaman listrik.
Namun, alat itu harganya US$14,100 (sekitar Rp197 juta), belum termasuk ongkos pasang US$2.000 (Rp28 juta).
Saat ini Tesla Motors kelabakan menyediakan dispenser Tesla Supercharger pengisian daya di wilayah California untuk mengatasi pemadaman listrik. Dan sejauh ini usaha tersebut belum efektif.
Alhasil, otoritas setempat mengimbau agar pemilik EV menyediakan generator diesel di rumah masing-masing. Ironis sekali.
Infrastruktur
Dari kasus tersebut, pertanyaannya adalah, apakah infrastruktur pendukung bagi kendaraan bertenaga listrik sudah siap? Karena dalam beberapa tahun terakhir masyarakat selalu diimbau untuk beralih dari menggunakan kendaraan berbahan bakar minyak ke EV.
Sanggupkah pemerintah dan produsen EV menyediakan tempat pengisian daya secara menyeluruh yang minim gangguan? Seperti yang kita ketahui, pasokan listrik di negara kita ini masih sangat buruk.