Budaya adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat, diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti tradisi, adat istiadat, bahasa, seni, dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Setiap budaya mencerminkan identitas dan keunikan suatu kelompok, sekaligus menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Salah satu tradisi atau budaya yang masih terus dilestarikan oleh masyarakat sunda, khususnya di Kelurahan Sukamulya, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan adalah budaya “nyekar”. Nyekar berasal dari kata “sekar” yang mempunyai arti bunga dalam dalam bahasa sunda. Nyekar adalah tradisi masyarakat sunda yang memiliki nilai nilai luhur, khususnya penghormatan kepada leluhur dan rasa syukur kepada sang pencipta. Di kelurahan sukamulya nyekar bukan sekedar ritual keagamaan tetapi sudah menjadi bagian dari identitas budaya.
Secara umum, nyekar biasanya dilaksanakan menjelang hari hari besar keagamaan seperti bulan suci Ramadhan, maulid nabi, hari raya idul fitri ataupun idul adha. Namun ada yang menarik di desa sukamulya kecamatan cigugur, nyekar biasa dilaksanakan menjelang seorang anak di sunat atau di khitan. Tradisi ini sudah menjadi bagian penting dari rangkaian kegiatan sunatan atau khitanan, yang dalam budaya sunda tidak hanya dianggap sebagai ritual keagamaan tetapi khitanan juga menjadi sebuah symbol transisi anak menuju kedewasaan.
Nyekar menjelang seorang anak di sunat atau di khitan biasanya dilaksanakan dua atau satu hari sebelum proses sunat itu dilaksanakan. Rangkaian kegiatan nyekar biasanya dimulai pada pagi hari, keluarga beserta anak yang akan di sunat pergi ke makam leluhur di desa sukamulya. Terdapat beberapa makam yang dikunjungi, yaitu makam leluhur yang terletak di tengah area persawahan, di belakang hutan bungkirit, masyarakat desa biasa menyebutnya “makam pasarean”, kemudian makam leluhur yang ada di tpu desa sukamulya yang terletak di ujung barat desa sukamulya.
Terdapat hal yang menarik dalam rangkaian kegiatan nyekar ini, anak yang akan si sunat di gendong di atas pundak ayah dari anak tersebut selama perjalanan menuju makan. Namun, seiring berjalannya waktu kegiatan ini sudah jarang lagi dilakukan, sekarang mengunjungi makam tidak lagi berjalan kaki melainkan mnggunakan kendaraan. Kemudian, sesampainya dimakam keluarga membersihkan area makam leluhur dari rumput liar, dedaunan, dan kotoran. Kemudian setelah itu keluarga dan juga anak yang akan di sunat menaburkan bunga diatas makan, bunga bunga seperti melati, mawar, atau kenanga. Bunga ini digunakan karena aromanya melambangkan kesucian. Rangkaian yang selanjutnya adalah membaca surat yasin dan melantunkan doa, doa dipanjatkan meminta agar anak yang disunat diberi keberanian, kesehatan, dan keselamatan.
Nyekar memiliki filosofi yang baik. Nyekar mengajarkan pentingnya menjaga hubungan dengan keluarga, baik yang masih hidup maupun yang sudah tiada. Filosofi ini sejalan dengan konsep trisilas dalam budaya sunda yaitu silih asah, silih asih, silih asuh yang menekankan pentingnya untuk saling mendukung, mengasihi, dan menghormati.
Tradisi nyekar di Desa Sukamulya adalah salah satu cerminan kearifan lokal masyarakat Sunda. Melalui tradisi ini, nilai-nilai penghormatan kepada leluhur, kekeluargaan, dan spiritualitas terus diwariskan dari generasi ke generasi. Di tengah arus modernisasi, tradisi ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga jati diri budaya sebagai warisan berharga yang tak ternilai.
Dengan melestarikan tradisi seperti nyekar, masyarakat Desa Sukamulya menunjukkan bahwa budaya lokal dapat terus hidup berdampingan dengan kemajuan zaman, menjadi identitas yang memperkaya kehidupan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H