Mohon tunggu...
Alim Monbusho
Alim Monbusho Mohon Tunggu... -

Mantan wartawan, penulis, dan citizen journalist.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Abu Nawas dan Kemanfaatan Hukum

26 April 2013   05:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:35 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Saya mengenal Abu Nawas lewat karya sastra, buku-buku humor, dan biografi beliau dalam bahasa Arab, Inggris, dan India. Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Pengetahuan kita tentang Abu Nawas sebatas dongeng, tukang ngibul, pandai bicara, pandai bersyair dan penasihat istana Sultan yang banyak akalnya. Kiprah Abu dalam bidang politik dan pemerintahan juga tak tertandingi pada zamannya. Meskipun demikian, ternyata Abu Nawas pandai pula dalam bidang hukum tata negara dan hukum perkawinan. Khusus yang kedua, pandangan beliau sangat objektif dan relevan dalam konteks kekinian.

Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas banyak menyoroti tentang seluk-beluk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Nasihat beliau banyak disampaikan kepada Sultan agar pasangan suami-istri di Bagdad menjauhi perceraian, tetapi mendekati poligami. Kedengarannya lucu, namun itulah yang terjadi pada masa dimana Abu Nawas "berkuasa."

Kemanfaatan hukum adalah salah satu dari tujuan pembentukan hukum. Dalam teori sistem hukum, Friedman membagi sistem hukum menjadi tiga, yaitu pranata hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Menurut Friedman, ketiga hal itu akan membentuk kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum.

Putusan hakim yang tebal sampai 120an halaman akan sia-sia bila tidak memenuhi rasa kemanfaatan bagi pencari keadilan, tidak bisa dieksekusi dan tidak memberikan rasa puas. UU yang dibentuk si pembuatnya akan sia-sia belaka, bila UU itu akhirnya mati, tidak bermanfaat, dan tidak dijalankan oleh masyarakat.

Kemanfaatan hukum memang perlu, sama perlunya seperti keadilan dan kepastian hukum. Ketika salah satu saja kurang, maka tujuan pembentukan hukum belum tercapai dan masih berjalan tertatih-tatih, tumpang tindih, dan kehilangan arah tujuan.

Syair Abu Nawas yang sering kita dengar tentang 'merayu' Tuhan seringkali kita dengar, baik di Mushalla maupun di Masjid. kalangan santri yang mondok di pesantren salafiyah pasti hafal dan memahami isi syair itu. Abu Nawas sempat berujar, "Tuhan, saya bukanlah orang yang pantas masuk ke dalam syurgamu, tapi saya juga tidak sanggup untuk bermukim di nerakamu..."

Dalam teori "a contrario" pernyataan itu syarat makna, bersifat universal, dan penuh ulasan transendental yang sangat kental. Meskipun demikian, ternyata Pancasila sebagai pedoman filsafat hukum di Indonesia, turut mewarnai dasar filosofi dalam syair Abu Nawas, yaitu dimensi ketuhanan (star principle).

Hukum dapat bermanfaat bagi masyarakat, bila hukum itu sesuai dengan tujuannya. Aspek ketuhanan harus dijalankan oleh si pembuat hukum, pelaksana hukum, dan korban hukum. Selamat menuju perubahan!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun