Mohon tunggu...
Aldila Aprili Kusuma
Aldila Aprili Kusuma Mohon Tunggu... -

Tidak banyak yang dapat diungkapkan oleh kata-kata dalam merepresentasikan siapa saya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tak Kenal Lippa Bugis, Maka Tak Sayang

3 Juli 2010   03:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:07 911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="" align="alignright" width="199" caption="dok. Kahfiati Kahdar"][/caption] Luka akibat klaim negara tetangga terhadap budaya warisan nenek moyang kita belum sembuh benar. Masih segar rasanya di ingatan kita, apa-apa saja budaya kita, yang bahkan hingga kini masih menjadi sengketa. Bara tak akan padam, bila masih disulut api. Daripada terus terbakar amarah, masih banyak budaya milik kita yang perlu dijaga agar tidak diakui oleh orang lain lagi, salah satunya lippa. Belum banyak masyarakat Indonesia yang mengenal lippa, apalagi sadar akan nilai estetika, filosofi, dan historis yang dikandungnya. Dr. Kahfiati Kahdar, MA, ketua Program Studi Kriya Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, adalah orang prihatin dan peduli dengan keberadaan lippa. Ia melakukan riset mengenai adaptasi estetik dari lippa. Lippa adalah sarung dalam bahasa Bugis. Lippa bukan saja merupakan busana tradisional masyarakat Sulawesi Selatan namun merupakan kebutuhan pelengkap adat, ibadah maupun keseharian. Oleh sebab itu, hingga kini tradisi menenun tak lepas dari kehidupan mereka. Lippa dikerjakan dengan cara ditenun menggunakan gedokan (alat tenun tradisional). Corak lippa menyiratkan simbol dari kejadian-kejadian penting dengan nilai estetika tinggi. Di Sulawesi sendiri, budaya menenun kain mulai berkembang pada tahun 1400 dengan corak garis vertikal dan horisontal. Kemudian tahun 1600 berkembanglah corak kotak-kotak seiring dengan masa kejayaan Islam di Sulawesi Selatan. Lippa bercorak kotak-kotak kemudian menjadi ciri khas corak lippa, baik sebagai corak maupun latar corak. Corak kotak-kotak pada lippa inilah yang menjadi asumsi dasar penelitian wanita yang biasa disapa Fifi ini. Berdasarkan risetnya, diketahui bahwa corak kotak-kotak dipelopori oleh masyarakat Bugis. Mereka adalah masyarakat yang terkenal dengan kegiatan maritimnya. Melalui perjalanan laut tersebut, corak kotak-kotak ini berhasil menyeberangi Sulawesi. Penyebaran ini dimotori oleh kegiatan perniagaan yang terjadi saat itu. Corak kotak-kotak lippa telah menyusuri hampir semua kepulauan di seluruh nusantara bahkan mancanegara. Kegiatan tersebut sekaligus mempublikasikan corak kotak-kotak lippa sebagai identitas dari sarung Bugis. Bukti adanya penyebaran tersebut dapat dilihat pada apa yang terjadi si Sumatra Selatan. Disana, lippa Bugis dengan corak kotak-kotak menjadi persyaratan khusus dalam perangkat mas kawin. Peristiwa demikian disinyalir dapat ditemukan pula di beberapa kepulauan Indonesia. Pada zaman perdagangan di Indonesia masih menggunakan sistem barter, lippa menjadi barang yang punya nilai layaknya logam mulia. Lippa dapat dijual atau ditukarkan dengan barang yang dibutuhkan. Lippa yang terbuat dari benang sutera dengan hasil tenunan yang baik menjadikan lippa tersebutmempunyai nilai yang cukup tinggi. Menurut Fifi, riset mengenai corak lippa ini bukan sesuatu yang mudah, bahkan untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhan studinya, riset tentang corak lippa ini harus memakan waktu sekitar lima tahun. Kesulitan pada umumnya muncul akibat sulitnya memperoleh data dalam bentuk otentik maupun informasi dari masyarakat. Sebagian besar Sulawesi Selatan bahkan belum menyadari bahwa ini adalah aset yang harus mereka jaga. Fifi merasa perlu diadakan pembakuan terhadap warisan-warisan budaya yang ada. Selain berfungsi mengawetan ragam budaya Indonesia, pembakuan akan memperkaya khasanah pengetahuan masyarakat tentang budaya Indonesia. Melalui perubahan waktu, akan terus ada bagian dari budaya yang beradaptasi dengan zaman. Proses adaptasi akan menyebabkan ada yang berubah, namun ada pula yang tidak. Demikian pula dengan corak lippa Bugis. Adaptasi estetika melahirkan sebuah pembabakan pada corak lippa. Corak lippa awalnya hanya polos, kemudian berkembang ke kotak-kotak, dan terus berkembang menjadi bergambar. Seiring perkembangan, yang menjadi ciri khas dari lippa Bugis ada lippa dengan corak kotak-kotak. Corak kotak-kotak dihasilkan melalui persilangan antara lungsi (garis horisontal) dan pakan (garis vertikal). Corak dan bahan baku lippa beradaptasi dengan perubahan teknologi. Awalnya lippa hanya menggunakan bahan katun, namun kini sudah dapat ditemukan lippa dengan bahan dasar sutera bahkan serat sintetis. Masa itu, pengerjaan lippa masih sebatas menggunakan alat tenun gedokan. Alat tenun yang mulanya menggunakan alat tenun gedokan kemudian alat tenun bukan mesin hingga alat tenun mesin. Situasi, lingkungan, serta keadaan politik waktu itu, juga turut menyumbang andil dalam perubahan corak lippa. Dinamika kehidupan masyaraat setempat, seperti sistem keesaan masyarakat Bugis, terungkap melalui kekuatan corak kotak-kotak yang mendominasi hampir seluruh lippa Bugis. Corak kotak-kotak pada lippa mengandung makna-makna tersirat. Makna tersirat melalui ukuran kotak tersebut. Kotak yang kecil (renni') menjadi simbol kaum perempuan dan kotak yang lebih besar (lobang)adalah laki-laki. Kotak yang besar diisi oleh kotak yang kecil. Pemaknaan simbolis tersebut makna luasnya dalah wanita dalam lindungan pria. Pada bagian kepala lippa, terdapat sepuluh kotak kecil yang dijedai oleh satu kotak besar. Dalam bahasa Bugis, 10 (sepuluh) adalah sapulo, artinya merekatkan. Lippa memang digunakan dalam acara berkumpul yang bertujuan merekatkan hubungan silaturahmi. Posisi lippa disini merupakan alat komunikasi nonverbal masyarakat. Makna-makna seperti itulah yang perlu ditelusuri kemudian dibakukan. Menurut Fifi, dengan pembakuan, generasi-ke generasi bisa terus mengetahui warisan budaya nenek moyangnya. Selalu ada pesan di balik simbol hingga corak pada kain-kain Indonesia. Roh dalam kain itu adalah perempuan Menenun merupakan pekerjaan yang sangat dekat dengan perempuan. Perempuan adalah sosok dengan perasaan yang sangat halus. Banyak yang mengatakan, kain-kain di Indonesia itu punya roh atau nyawa. Fifi menjelaskan bahwa itu sebenarnya berkaitan erat dengan si pembuat kain tersebut. Roh dalam kain itu adalah perasaan perempuan yang membuatnya. Perasaaan yang tercurah sehingga menjadi nyawa dari kain tersebut. Corak Mapagili contohnya. Konon, ini cerita mengenai seorang suami yang meninggalkan istrinya untuk kawin lagi. Istri merasa sangat sedih, namun masih ada perasaan cinta kepada suaminya. Ia mencari kesibukkan agar tidak larut terus dalam kesedihan caranya dengan menenun terus menerus. Ia terus menenun sambil menangis, dan berharap. Pada saat kain itu selesai, warna yang keluar pada kain adalah warna merah muda dengan corak yang cantik melambangkan cinta. Kain itupun diberikannya pada istri kedua, untuk disampaikan kepada suaminya. Saat menerima kain tersebut, sang suami terpesona akan indah kain tersebut, dari warna, corak, dan keseluruhan kain tersebut. Sampai-sampai dia jatuh cinta kempali kepada istri pertamanya. Akhirnya dia kembali lagi. Kain itu kemudian diberi nama Mapagili, yang dalam bahasa Indonesia artinya kembali lagi. Sekali Menenun, Dua Tiga Pekerjaan Terlampaui Di daerah Sengkang, Wajo. Terdapat kumpulan perempuan penenun lippa. Mulai dari umur 13 tahun, rata-rata mereka sudah mulai menenun. Rumah mereka disana sebagian besar merupakan rumah panggung. Mereka biasa menghabiskan waktu untuk menenun di bagian bawah rumah.

Fabi (36), penenun di Dusun Walanga, Sengkang, menenun sambil mengawasi buah hatinya bermain. (dokumentasi Kahfiati Kahdar

Tata letak rumah mereka didesain sedemikian rupa agar tetap memudahkan para perempuan Wajo menenun sambil menjaga rumah, merawat anak, dan memasak. Ibu dari satu anak ini menjelaskan bahwa bentuk rumah di kawasan tersebut sangat lekat sekali dengan sifat perempuan. Perempuan dianggap memiliki nilai yang sangat tinggi. Perempuan layaknya harta yang perlu untuk dijaga. Dahulu, sebagian dari mereka menenun di dalam rumah, tidak di bagian bawah seperti sekarang. Saat mereka menenun, orang yang lewat bisa tahu bahwa penenun itu masih gadis, sudah menikah, atau sudah janda. Mereka bisa membedakan hal itu dari bunyi ketukan yang dihasilkan oleh alat tenun perempuan tersebut. Nilai-nilai historis dan estetika saja masih belum cukup menggambarkan keunikan lippa Bugis. Filosofi dari lippa menaburkan ragam unik yang tak kalah menarik. Nilai filosofi lippa dapat dirasakan melalui prosesi adat di Sulawesi Selatan. Saat seseorang akan melakukan mapaci (salah satu prosesi adat pernikahan), lippa ini menjadi salah satu hal yang tidak boleh dilupakan keberadaannya. Pada prosesi itu, tangan mempelai ditaruh pada sebuah alas, kemudian ditengadahkan dan diletakkan 7 lapis sarung (Lippa). Makna dari ketujuh lippa itu adalah tujuh lapis kehidupan. Itulah yang dimaksud arti filosofikal. Tidak bisa di logikakan. Namun secara filososi, hal tersebut ternyata memiliki makna tersendiri. Prosesi mapaci ini sudah dimulai dari zaman nenek moyang dulu. Prosesi itu menaruh harap sang mempelai agar bisa mencapai tujuh lapis surga dan kehidupan. Bertahannya budaya lippa pada masyarakat Bugis sampai saat ini tidak terlepas dari kuatnya adat istiadat yang mereka anut sebagai falsafah hidup dengan menjembatani kemajuan zaman dan norma-norma adat yang berlaku. Dilihat dari semua aspek kehidupan pada budaya Bugis masih disimbolkan oleh lippa, baik sebagai busana, hadiah sebagai perhargaan yang tinggi, simbol status dan pelengkap adat pada upacara budaya setempat. Budaya Bugis adalah salah satu yang perlu dilestarikan. Pelestarian tersebut dapat dimulai dengan "mengenal" budaya tersebut lebih dalam. Seperti harapan yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA, promotor disertasi Fifi, bahwa proses "pengenalan" (riset) ini jangan berhenti sampai disini. Perlu ada yang mendalami lebih jauh lagi. Studi mengenai lippa ini telah mendalami apa makna yang terkandung dalam corak lippa Bugis, khususnya corak kotak-kotak. Dengan adanya riset ini, diharapkan masyarakat Sulawesi Selatan jadi mengerti tentang lippa Bugis, apalagi corak-corak hampir setiap hari mereka gunakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun