[caption id="attachment_345802" align="aligncenter" width="300" caption="(isagold.com)"][/caption]
Genap dua tahun sudah harga emas mencatatkan pelemahan. Berawal dari pertengahan 2012, dimana saat itu emas mulai diterpa isu pengetatan moneter (tapering off) yang akan dilakukan The Federal Reserve, hingga saat ini, dimana pengetatan tersebut tengah dilakukan, emas masih belum menemukan momentum untuk dapat kembali bersinar seperti saat pelonggaran moneter (quantitative easing) banyak dilancarkan.
Harga Emas di 2014
Emas menutup tahun 2014 dengan mencatat pelemahan year on year (yoy) sebesar 0,18% di level $1,183 per troy ons. Ini menjadi pelemahan dua tahun berturut-turut pertamanya dalam kurun 15 tahun terakhir. Sepanjang tahun lalu, Emas sebetulnya sempat memberikan harapan saat komoditas itu berhasil menembus resistance menuju level $1,388 -- level tertinggi yang pernah dicapai harga emas selama 2014. Akan tetapi, kondisi itu tidak berlangsung lama sampai akhirnya harga emas kembali ke fase bearish.
Seperti yang pernah saya ulas pada artikel terdahulu, level psikologis yang tertembus di $1,300 akan membuka peluang harga emas untuk terus bergerak menuju target atau resistance berikutnya di level $1,390. Akan tetapi, si kuning gagal bertahan lama dan hanya mampu menyentuh $1,388 lantaran syarat terkonfirmasinya penembusan di grafik mingguan tidak terpenuhi, yang membuatnya harus kembali ke bawah level $1,300. Memang, secara keseluruhan emas sedang dalam masa yang sulit saat itu -- pengetatan moneter oleh The Fed mampu menjadi isu utama -- yang memudarkan kilau si kuning di mata para pelaku pasar. Â
Â
Outlook 2015
Ekonomi AS
Sepertinya, masa sulit itu pun masih akan berlanjut tahun ini. Berbagai faktor akan menghambat harga emas untuk dapat kembali memasuki tren positifnya. Dari segi fundamental, emas masih dihadapkan pada isu-isu yang tak bersahabat, salah satunya berupa penaikan suku bunga acuan oleh The Fed. Bank sentral AS itu diyakini akan melakukannya dalam waktu dekat menyusul data ekonomi AS yang terus membaik (simak tabel 1).
Data tenaga kerja, misalnya. Sempat mengalami keterpurukan sepanjang tahun 2008 - 2009 sebagai dampak dari krisis keuangan yang terjadi, jumlah tenaga kerja di AS terus mengalami peningkatan beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data yang saya himpun dari U.S. Bureau of Labor Statistics, data tenaga kerja per 5 Desember 2014 adalah yang terbaik sejak tiga tahun terakhir, yakni 321.000 tambahan tenaga kerja. Hal ini pun membuat 2014 sebagai tahun terbaik dalam hal peningkatan tenaga kerja di AS.
Dengan adanya tambahan tenaga kerja tersebut, tingkat pengangguran pun secara otomat berkurang. Seperti yang bisa Anda lihat pada tabel di atas, pengangguran di AS di paruh kedua 2014 yang sebesar 5,8% adalah tingkat terrendah yang pernah dimiliki AS sejak krisis 2008. Data-data ini, ditambah dengan data-data Purchasing Managers Index (PMI) yang tercatat stabil di atas angka 50, semakin menegaskan perekonomian AS yang kian sehat. Atas dasar inilah The Fed memberi sinyalemen penaikan suku bunga.
Di sisi lain, data inflasi dan produk domestik bruto (PDB) AS pun menjadi dasar pertimbangan The Fed. Seperti yang banyak diketahui, The Fed menargetkan inflasi minimal 2% untuk bisa melancarkan aksinya itu. Dan jika melihat data dari U.S. Bureau of Economic Analysis (tabel 2), target inflasi itu hampir terpenuhi. Gubernur The Fed yang baru, Janet Yellen, bahkan memberikan sinyal kalau institusi yang dipimpinnya itu akan sedikit lebih agresif dalam menanggapi data yang ada. Hal ini semakin memperkuat prediksi banyak analis bahwa penaikan suku bunga akan dilakukan tahun ini.