Belakangan ini, rumor telah beredar bahwa Amerika Serikat (AS) sedang menuju resesi pada tahun 2023. Meskipun mungkin rumor ini terasa menakutkan karena dampaknya terhadap ekonomi global bisa menjadi sangat luas, masyarakat tidak seharusnya menelan itu mentah-mentah. Sebagaimana sulitnya memprediksi apakah ekonomi akan semakin maju atau justru melesu di tahun-tahun mendatang, sulit juga untuk mengetahui apakah resesi 2023 akan benar-benar terjadi.
Daripada parno dengan rumor ini, kita harus menanggapinya secara bijak dengan mencoba memahami kebenarannya dan mengambil sikap untuk bersiap menghadapi apa pun yang mungkin terjadi di masa depan. Untuk itu, mari kita mulai dengan apa itu resesi.
Resesi didefinisikan sebagai periode penurunan ekonomi yang berkepanjangan, biasanya ditandai dengan pengangguran yang tinggi dan keuntungan dunia bisnis yang menurun. Saat terjadi, resesi biasanya dipicu oleh krisis keuangan yang menyebabkan harga saham anjlok dan investor kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan di masa depan.
Kedalaman resesi akan sangat bergantung pada tingkat keparahan krisis yang menyebabkannya. Meskipun setiap resesi berbeda, sebagian besar berlangsung kira-kira satu tahun. Namun, ada juga yang bertahan lebih lama jika cukup parah. Misalnya, The Great Recession tahun 2008 yang berlangsung dari akhir 2007 hingga pertengahan 2009 dan merupakan resesi terburuk sejak The Great Depression tahun 1930-an.
Rumor tentang resesi 2023 ini utamanya didasarkan pada dua indikator ekonomi: pertumbuhan PDB yang melambat dan tren kenaikan suku bunga. Namun, penting untuk diingat bahwa meskipun kedua tren ini sekilas tampak mengkhawatirkan, keduanya juga bisa menjadi indikator positif bagi ekonomi yang sehat dalam jangka panjang.
Secara khusus, kekhawatiran tentang pertumbuhan PDB yang melambat seharusnya tidak secara otomatis ditafsirkan sebagai tanda bahwa ekonomi sedang menuju resesi. Untuk satu hal, PDB hanyalah salah satu ukuran kesehatan ekonomi suatu negara dan tidak boleh digunakan untuk dijadikan kesimpulan semacam itu. Selain itu, PDB hanyalah ukuran dari nilai total semua barang dan jasa yang diproduksi pada tahun tertentu, dan itu tidak selalu memberi kita informasi tentang apakah penduduknya lebih baik atau tidak.
Misalnya, fakta bahwa PDB yang tumbuh tidak berarti bahwa penduduknya lebih bahagia atau lebih sejahtera daripada di masa lalu. Bahkan, kadang-kadang bisa juga menyebabkan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dan kurangnya keadilan sosial (terkait ini saya sudah menuliskannya spesifik di sini). Karena alasan ini, tidaklah bijaksana mendasarkan setiap keputusan penting tentang ekonomi hanya pada perubahan PDB.
Mengenai kenaikan suku bunga, hal ini juga harus dipertimbangkan dalam konteks perekonomian secara keseluruhan, bukan secara parsial. Pertama, suku bunga yang lebih tinggi memang dapat mempersulit sebagian orang untuk mendapatkan pinjaman yang mereka butuhkan untuk membeli rumah atau memulai usaha. Hal ini juga dapat mempengaruhi biaya pinjaman untuk bisnis yang perlu membeli peralatan baru atau melakukan investasi besar lainnya.
Di sisi lain, hal ini juga cenderung mendorong lebih banyak simpanan dan mengurangi tingkat utang dalam perekonomian secara keseluruhan. Ini dapat membantu mendorong perekonomian yang lebih berkelanjutan dan tangguh. Untuk alasan inilah, kita tidak boleh mengambil dampak negatif jangka pendek dari kenaikan suku bunga sebagai kesimpulan bahwa resesi 2023 (atau resesi kapanpun) akan segera terjadi.
Sebaliknya, kita harus bisa melihat pada cara bagaimana tren ini dapat memperkuat perekonomian secara keseluruhan. Dalam hal ini, penaikan suku bunga diyakini sebagai upaya yang diambil oleh bank sentral agar tidak merugikan ekonomi yang lebih luas, dan ini bisa digunakan untuk keuntungan jangka panjang. Itulah mengapa Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell menyebutnya sebagai pil pahit.