Mohon tunggu...
Aldi Amirullah
Aldi Amirullah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa HTN

cogationis poenam nemo patitur

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Memaknai 20 Tahun MK: Bagaimana Jika Kasus Marbury Vs Madison Terjadi di Indonesia

22 Juli 2023   16:28 Diperbarui: 22 Juli 2023   16:37 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Meskipun secara teoritis keberadaan Mahkamah Konstitusi pertama kali diperkenalkan pada tahun 1919 oleh ahli hukum asal Austria, Hans Kelsen. Yang menyatakan bahwa konstitusionalitas tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji suatu produk hukum konstitusional atau tidak, dan tidak akan diberlakukan jika menurut organ ini tidak konstitusional, sehingga perlu diadakan organ khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi.

Namun, praktik judicial review yang pertama kali telah bermula di mahkamah agung (supreme court) Amerika Serikat pada tahun 1796. Dalam kasus ini, supreme court Amerika Serikat menolak permohonan pengujian UU Pajak atas Gerbong Kereta Api 1794 yang diajukan oleh Hylton dan menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi. Artinya, supreme court Amerika Serikat telah melakukan pengujian UU meskipun putusannya tidak membatalkan UU Pajak tersebut. kemudian, ketika supreme court Amerika Serikat yang dipimpin oleh John Marshall dalam kasus Marbury VS Madison tahun 1803, saking fenomenalnya putusan dalam kasus ini, sehingga William H. Rchnquist menyebutnya sebagai "most famous case ever decided by the US Supreme Court"

Apa yang akan disajikan dalam tulisan ini bukanlah kajian tentang bagaimana prosedur penyelesaian perkara Marbury VS Madison jika terjadi di Indonesia, apakah akan diselesaikan di lingkungan MA atau MK. Tetapi bagaimana relasi kuasa (koalisi kepentingan) pihak-pihak yang terlibat dalam perkara tersebut ternyata tidak mempengaruhi independensi putusan pengadilan. Hal tersebut tentu saja menjadi salah satu harapan publik agar tetap ada dalam tubuh MK Republik Indonesia selama 20 tahun terbentuk dan sampai seterusnya.

Sedikit gambaran tentang kasus Marbury vs Madison. Kasus ini diawali ketika John Adams menjabat sebagai Presiden AS yang kedua untuk masa jabatan 1797-1801. Sebagai petahana pada Pemilu tahun 1800 John Adams kalah dari pesaingnya Thomas Jefferson dan Aaron Burr. Oleh kerana itu, menurut konstitusi Amerika Serikat, yang akan menjadi Presiden selanjutnya untuk periode 1801-1805 akan mulai menjabat sebagai presiden pada tanggal 4 Maret 1801. Dalam masa peralihan presiden dari John Adams ke Tohmas Jefferson dan Aaron Burr, John Adams tetap ingin mempertahankan rekan-rekannya agar memiliki kedudukan dalam kepemimpinanThomas Jefferson dan Aaron Burr untuk periode 1801-1805.

Beberapa upaya yang dilakukan oleh John Adams diantaranya yaitu mengangkat John Marshall yang merupakan Menteri Sekretaris Negara menjadi Ketua Mahkamah Agung (Chief Justice). Dengan dibantu oleh John Marshall yang merupakan Ketua Mahkamah Agung yang baru, John Adams masih mengangkat beberapa rekannya hingga tanggal 3 maret 1801 salah satunya yaitu William Marbury sebagai hakim perdamaian. Namun, karena ditandatangani dalam waktu yang sangat singkat menuju pergantian presiden, surat pengangkatan William Marbury kemudian tidak sempat diserahterimahkan sebagaimana mestinya. Sehingga surat pengangkatnnya ditahan oleh James Madison yang telah diangkat menjadi Menteri sekertaris negara yang baru oleh presiden Thomas Jefferson menggantikan John Marshall yang telah duduk sebagai kepala Mahkamah Agung.

Karena Marbury menganggap proses pengangkatannya konstitusional, maka melalui kuasa hukumnya Charles Lee, ia mengajukan tuntutan kepada Mahkamah Agung Federal agar sesuai kewenangannya berdasarkan section 13 Judiciary Act 1789 mengeluarkan Writs of Mandamus, agar Pemerintah Federal menyerahkan salinan surat pengangkatan mereka sebagaimana mestinya.

Putusan dalam kasus inilah yang menunjukkan bagaimana relasi kuasa tidak mempengaruhi independensi putusan pengadilan. Mengingat  John Marshall menjadi kepala Mahkamah Agung (chief justice) karena diangkat oleh John Adams sebelum pergantian presiden. Mereka berdua kemudian mengupayakan mengangkat beberapa hakim perdamaian, diantaranya yaitu William Marbury. Namun, putusan mahkamah agung yang saat itu telah dikepalai oleh John Marshall, atas kasus Marbury VS Madison ternyata tetap berpihak pada konstitusi. Bukan kepada relasi kuasa atau koalisi kepentingan atara John Adams, John Marshall, dan Marbury.

Permohonan Marbury  ke mahkamah agung ditolak, bukan karena positanya tidak dapat diterima atau tidak beralasan hukum, melainkan karena petitumnya yang meminta mahkamah agung mengeluarkan Writs of Mandamus berdasarkan Section 13 Judiciary Act 1789 yang tidak dapat dilaksanakan oleh mahkamah agung. Bahkan mahkamah agung menilai ketentuan Judiciary Act 1789 yang dijadikan dasar oleh Marbury untuk meminta mahkamah agung mengeluarkan writ of mandamus itu inkonstitusional dan bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika Serikat.

Mengapa relasi kuasa dalam kasus Marbury VS Madison yang menjadi fokus utama penulis dalam tulisan ini? Karena di pertengahan tahun 2022 publik mengkhawatirkan bagaimana independensi MK Republik Indonesia setelah ketua MK menikah dengan adik Presiden. Bahkan tidak sedikit ahli hukum yang menyarankan ketua MK tersebut untuk mundur dari jabatannya untuk menghindari konflik kepentingan saat mengadili putusan. Namun, belum lama ini, kekhawatiran publik akan independensi MK Republik Indonesia dapat tenangkan. Salah satunya setelah dikeluarkan putusan MK nomor 114/PUU-XX/2022 yang pada dasanya menyatakan bahwa pemilihan umum 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.

Perlu diketahui bahwa satunya-satunya fraksi di DPR RI yang menginginkan sistem proporsional tertutup hanyalah PDIP yang merupakan partai koalisi Presiden. Namun, fakta bahwa partai PDIP merupakan koalisi Presiden dan telah terdapat hubungan keluarga antara ketua MK dengan Presiden. Tetap tidak dapat membantah, jika MK dapat mengeluarkan putusan yang menyatakan pemilu tetap menggunkan sistem proporsional terbuka.

Hal inilah yang memicu harapan dan sikap optimis penulis akan independensi MK Republik Indonesia selama 20 tahun terbentuk dan sampai seterusnya. Bahkan jika kita membayangkan bagaimana MK Republik Indonesia memutus kasus Marbury VS Madison jika terjadi di Indonesia, maka menurut penulis putusannya tidak akan jauh berbeda dengan yang diputus oleh supreme court Amerika Serikat yang saat itu dikepalai oleh John Marshall. Dimana relasi kuasa atau koalisi kepentingan tidak akan mempengaruhi independensi pengadilan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun