Bukan maksud saya hendak melukiskan kebudayaan Islam dengan segala ketentuannya itu disini. Lukisan demikian menghendaki suatu pembahasan yang mendalam, yang akan meminta tempat sebesar buku ini atau lebih besar lagi. Akan tetapi - setelah dasar rohani yang menjadi landasannya itu saya singgung seperlunya - lukisan kebudayaan itu disini ingin saya simpulkan, kalau-kalau dengan demikian ajaran Islam dalam keseluruhannya dapat pula saya gambarkan dan dengan penggambaran itu saya akan merambah jalan ke arah pembahasan yang lebih dalam lagi. Dan sebelum melangkah ke arah itu kiranya akan ada baiknya juga saya memberi sekadar isyarat, bahwa sebenarnya dalam sejarah Islam memang tak ada pertentangan antara kekuasaan agama (theokrasi) dengan kekuasaan temporal, yakni antara gereja dengan negara. Hal ini dapat menyelamatkan Islam dari pertentangan yang telah ditinggalkan Barat dalam pikiran dan dalam haluan sejarahnya.
Dalam Islam tak ada pertentangan agama dengan negara
Islam dapat diselamatkan dari pertentangan serta segala pengaruhnya itu, sebabnya ialah karena Islam tidak kenal apa yang namanya gereja itu atau kekuasaan agama seperti yang dikenal oleh agama Kristen. Belum ada orang di kalangan Muslimin - sekalipun ia seorang khalifah - yang akan mengharuskan sesuatu perintah kepada orang, atas nama agama, dan akan mendakwakan dirinya mampu memberi pengampunan dosa kepada siapa saja yang melanggar perintah itu. Juga belum ada di kalangan Muslimin - sekalipun ia seorang khalifah - yang akan mengharuskan sesuatu kepada orang selain yang sudah ditentukan Tuhan di dalam Qur'an. Bahkan semua orarg Islam sama di hadapan Tuhan. Yang seorang tidak lebih mulia dari yang lain, kecuali tergantung kepada takwanya - kepada baktinya. Seorang penguasa tidak dapat menuntut kesetiaan seorang Muslim apabila dia sendiri melakukan perbuatan dosa dan melanggar penntah Tuhan. Atau seperti kata Abu Bakr ash-Shiddiq kepada kaum Muslimin dalam pidato pelantikannya sebagai Khalifah "Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah dan RasulNya. Tetapi apabila saya melanggar (perintah) Allah dan Rasul maka gugurkanlah kesetiaanmu kepada saya."
Kendatipun pemerintahan dalam Islam sesudah itu kemudian dipegang oleh seorang raja tirani, kendatipun di kalangan Muslimin pernah timbul perang saudara, namun kaum Muslimin tetap berpegang kepada kebebasan pribadi yang besar itu, yang sudah ditentukan oleh agama, kebebasan yang sampai menempatkan akal sebagai patokan dalam segala hal, bahkan dijadikan patokan didalam agama dan iman sekalipun. Kebebasan ini tetap mereka pegang sekalipun sampai pada waktu datangnya penguasa-penguasa orang-orang Islam yang mendakwakan diri sebagai pengganti Tuhan di muka bumi ini - bukan lagi sebagai pengganti Rasulullah. Padahal segala persoalan Muslimin sudah mereka kuasai belaka, sampai-sampai ke soal hidup dan matinya.
Sebagai bukti misalnya apa yang sudah terjadi pada masa Ma'mun, tatkala orang berselisih mengenai Qur'an: makhluk atau bukan makhluk - yang diciptakan atau bukan diciptakan! Banyak sekali orang yang menentang pendapat Khalifah waktu itu, padahal mereka mengetahui akibat apa yang akan mereka terima jika berani menentangnya.
Dalam segala hal akallah patokan dalam Islam
Dalam segala hal akal pikiran oleh Islam telah dijadikan patokan. Juga dalam hal agama dan iman ia dijadikan patokan. Dalam firman Tuhan:
"Perumpamaan orang-orang yang tidak beriman ialah seperti (gembala) yang meneriakkan (ternaknya) yang tidak mendengar selain suara panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, sebab mereka tidak menggunakan akal pikiran." (Qur'an, 2: 171)
Oleh Syaikh Muhammad Abduh ditafsirkan, dengan mengatakan: "Ayat ini jelas sekali menyebutkan, bahwa taklid (menerima begitu saja) tanpa pertimbangan akal pikiran atau suatu pedoman ialah bawaan orang-orang tidak beriman. Orang tidak bisa beriman kalau agamanya tidak disadari dengan akalnya, tidak diketahuinya sendiri sampai dapat ia yakin. Kalau orang dibesarkan dengan biasa menerima begitu saja tanpa disadari dengan akal pikirannya, maka dalam melakukan suatu perbuatan, meskipun perbuatan yang baik, tanpa diketahuinya benar, dia bukan orang beriman. Dengan beriman bukan dimaksudkan supaya orang merendah-rendahkan diri melakukan kebaikan seperti binatang yang hina, tapi yang dimaksudkan supaya orang dapat meningkatkan daya akal pikirannya, dapat meningkatkan diri dengan ilmu pengetahuan, sehingga dalam berbuat kebaikan itu benar-benar ia sadar, bahwa kebaikannya itu memang berguna, dapat diterima Tuhan. Dalam meninggalkan kejahatan pun juga dia mengerti benar bahaya dan berapa jauhnya kejahatan itu akan membawa akibat."
Inilah yang dikatakan Syaikh Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat ini, yang di dalam Qur'an, selain ayat tersebut sudah banyak pula ayat-ayat lain yang disebutkan secara jelas sekali. Qur'an menghendaki manusia supaya merenungkan alam semesta ini, supaya mengetahui berita-berita sekitar itu, yang kelak renungan demikian itu akan mengantarkannya kepada kesadaran tentang wujud Tuhan, tentang keesaanNya, seperti dalam firman Allah:
"Bahwasanya dalam penciptaan langit dan bumi, dalam pergantian malam dan siang, bahtera yang mengarungi lautan membawa apa yang berguna buat umat manusia, dan apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan air itu dihidupkanNya bumi yang sudah mati kering, kemudian disebarkanNya di bumi itu segala jenis hewan, pengisaran angin dan awan yang dikemudikan dari antara langit dan bumi - adalah tanda-tanda (akan keesaan dan kebesaran Tuhan) buat mereka yang menggunakan akal pikiran." (Qur'an, 2: 164) "
Dan sebagai suatu tanda buat mereka, ialah bumi yang mati kering. Kami hidupkan kembali dan Kami keluarkan dari sana benih yang sebagian dapat dimakan. Disana Kami adakan kebun-kebun kurma dan palm dan anggur dan disana pula Kami pancarkan mata air - supaya dapat mereka makan buahnya. Semua itu bukan usaha tangan mereka. Kenapa mereka tidak berterima kasih. Maha Suci Yang telah menciptakan semua yang ditumbuhkan bumi berpasang-pasangan, dan dalam diri mereka sendiri serta segala apa yang tiada mereka ketahui. Juga sebagai suatu tanda buat mereka - ialah malam. Kami lepaskan siang, maka mereka pun berada dalam kegelapan. Matahari pun beredar menurut ketetapan yang sudah ditentukan. Itulah ukuran dari Yang Maha Kuasa dan Maha Tahu. Juga bulan, sudah Kami tentukan tempat-tempatnya sampai ia kembali lagi seperti mayang yang sudah tua. Matahari tiada sepatutnya akan mengejar bulan dan malam pun tiada akan mendahului siang. Masing-masing berjalan dalam peredarannya. Juga sebagai suatu tanda buat mereka - ialah turunan mereka yang Kami angkut dalam kapal yang penuh muatan. Dan buat mereka Kami ciptakan pula yang serupa, yang dapat mereka kendarai. Kalau Kami kehendaki, Kami karamkan mereka. Tiada penolong lagi buat mereka, juga mereka tak dapat diselamatkan. Kecuali dengan rahmat dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai pada waktunya." (Qur'an, 36: 33-44.)
Kekuatan iman
Anjuran supaya memperhatikan alam ini, menggali segala ketentuan dan hukum yang ada di dalam alam ini serta menjadikannya sebagai pedoman yang akan mengantarkan kita beriman kepada Penciptanya, sudah beratus kali disebutkan dalam pelbagai Surah dalam Qur'an. Semuanya ditujukan kepada tenaga akal pikiran manusia, menyuruh manusia menilainya, merenungkannya, supaya imannya itu didasarkan kepada akal pikiran, dan keyakinan yang jelas. Qur'an mengingatkan supaya jangan menerima begitu saja apa yang ada pada nenek moyangnya, tanpa memperhatikan, tanpa meneliti lebih jauh serta dengan keyakinan pribadi akan kebenaran yang dapat dicapainya itu.