Tajam Ke Atas, Humanis Ke Bawah, Sebuah Retorika atau Realita?
Kejaksaan Agung mengumandangkan sebuah jargon baru dalam rangka HUT ke 62 Kejaksaan. Jargon ini seakan membalik jargon yang sudah sangat populer dan nyata dalam dunia penegakan hukum kita, Tajam kebawah, tumpul ke atas. Apakah jargon tajam ke atas ke atas dan humanis ke bawah akan menjadi sebuah realita? Atau hanya sebatas retorika kejaksaan?
Hidup kita berada dalam dua sisi. Pertama, das sollen, idealnya, apa yang seharusnya. Kedua, das sein, realitanya, apa kenyataannya. Dunia penegakan hukum juga demikian. Selalu berada diantara das sollen, yang seharusnya dan das sein, apa realitanya.
Dalam bahasa lain dalam dunia hukum disebut lagi law in book dan law in action. Apa yang ditulis dalam buku dan peraturan (law in book) dan apa yang terjadi dan nyata dilapangan (law in action). Apakah das sollen dengan das sein selalu selaras? Belum tentu juga. Ada yang sama, tetapi lebih banyak yang tidak sama.
Sama halnya dengan law in book dan law in action, terkadang sama, tetapi sering tidak sama. Dalam konteks itulah muncul pertanyaan kita terhadap jargon baru dari kejaksaan tentang tajam ke atas, humanis ke bawah. Apakah jargon ini bisa menjadi kenyataan atau hanya sekedar retorika?
Pengalaman dalam dunia penegakan hukum kita yang berlaku adalah tajam kebawah dan tumpul ke atas. Berbagai contoh kasus tidak mungkin dibeberkan disini. Jangankan pejabat teras, hanya untuk menangkap seorang anak kiai sepuh di Jombang saja, Polri kelimpungan dan seakan tak mampu. Beberapa kali gagal menangkap pelaku dugaan pencabulan terhadap santriwati.
Berbagai buronan korupsi tak bisa ditangkap. Dan begitu banyak kasus yang hilang ditelan bumi menjadi dark number atau kasus yang gelap dan hilang. Banyak daftar DPO tak kunjung ditangkap sampai kini.
Pemunculan jargon tajam ke atas dan humanis kebawah ditandai dengan peluncuran buku dari Jaksa Agung. Wow, ini keren. Seorang Jaksa Agung disela-sela tugasnya yang padat menyempatkan diri menulis dan melahirkan 3 buku yang diluncurkan sekaligus dalam rangka HUT ke 62 Kejaksaan. Dan jargon diatas menjadi salah satu judul buku tersebut.
Seandainya Kejaksaan bisa mewujudnyatakan jargon tajam ke atas dan humanis ke bawah ini dalam realitas penegakan hukum di Indonesia, ini adalah sebuah prestasi besar. Namun jika jargon ini hanyalah sebuah retorika dan tidak menjadi realita, maka Kejaksaan hanyalah Pemberi Harapan Palsu (PHP). Ini tentu sudah menjadi hal biasa bagi para pencari keadilan.
Apakah kenyataan tajam ke bawah dan tumpul keatas bisa diganti dengan tajam keatas dan humanis ke bawah? Ini butuh kerja keras dan butuh pembuktian yang nyata. Niat baik Kejaksaan dengan meluncurkan jargon ini sangat baik. Namun jika hal itu tidak diwujudkan, maka masyarakat pencari keadilan akan menjadi kecewa.
Mungkin masyarakat tidak selalu membutuhkan jargon seperti tajam keatas dan humanis ke bawah. Masyarakat butuh bukti nyata tentang kepastian hukum dan keadilan.