Guru, selalu ditunggu untuk mengajar anak didik. Sangat dibutuhkan, tanpa dia proses belajar mengajar tak berjalan. Guru, katanya seharusnya digugu, patut ditiru. Ada pepatah yang mengatakan, guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Dulu, guru itu sangat dihormati. Ketika penulis masih anak didik di SD, bertemu dengan guru harus berhenti dan memberi hormat. Pas pulang dari ladang sedang membawa singkong dalam keranjang diatas kepala, penulis harus berhenti dan menaruh hormat.
Ketika kita salah dalam pelajaran, belebas panjang segera melibas. Akhirnya, kita harus belajar keras, karena takut dilibas dengan belebas. Hasil akhir, cerdas. Bukan semata-mata karena belebas, namun karena hati menerima dengan ikhlas.
Di akhir kenaikan kelas, pembagian rapor menjadi saat yang ditunggu-tunggu. Dua gendangya. Naik kelas atau tinggal kelas. Tidak ada hadiah, yang ada ucapan terima kasih. Keadaan murid-murid dan orang tuanya apa adanya dan bersahaja, gurunyapun biasa saja.
Ada yang mampu dan memberi hadiah. Namun dalam diam dan tidak di depan orang. Tidak ada beban bagi guru. Orang tua yang kurang mampu tidak terbeban. Pemberian hadiah bersifat tertutup, namun ada kebaikan. Seakan tak ada pengaruh.
Guru, kala itu menjadi figur yang bermartabat, berwibawa dan mendapat tempat yang baik dalam masyarakat. Hormati gurumu, sayangi teman, itulah tandanya kau murid budiman. Nyanyian itu sering bergema dan menjadi lagu wajib ketika disuruh bernyanyi satu persatu di depan kelas.
Kini, guru itu seperti pacar. Dibutuhkan dan disayang karena perlu. Namun seringkali dibenci karena perlakuannya kepada anak didiknya. Jika tidak ada guru, dirindu. Agar anak didik bisa belajar, guru harus ada. Waktu guru ada kekurangan, langsung dibenci. Benci tapi rindu.
Terkadang guru seperti garam. Kalau kita makan makanan yang pas garamnya, maka garam itu seakan tak ada dan tak diingat orang. Namun jika garam tak ada, maka makanan itu menjadi hambar dan seringkali tidak dimakan. Jika garamnya berlebihan, juga sangat terasa dan makanan juga tidak dimakan.
Guru, jika bekerja dengan baik, kita sering melupakannya. Jika guru tidak ada, baru terasa ada yang kurang. Pendidikan tidak berjalan. Jika guru berlebihan dalam bertindak, maka kita akan marah. Diadukan ke polisi, diadukan ke Komnas HAM dan berbagai tindakan dilakukan. Ada orang tua yang memukul dan menganiaya guru.
Berbagai sumpah serapah ditumpahkan kepada guru. Guru tidak boleh salah. Pengaruh media sosial sangat kejam. Bisa menghukum guru dengan memviralkan video yang merekam kekejaman guru. Padahal kekejaman murid kepada guru, bagaimana? Kekejaman orang tua kepada guru, bagaimana?
Jika guru diadukan karena kekurangannya, itu seakan biasa. namun jika guru yang mengadukan orang tua murid, dia dituduh bukan guru yang baik.