Demo mahasiswa 11 April 2022 sudah berlalu. Namun berita tentang demo tersebut belum berakhir. Percakapan baik melalui media sosial, WA grup dan warung kopi masih berlangsung. Namun yang dibahas bukan lagi tuntutan mahasiswa dalam demo tersebut. Yang dibahas adalah pengeroyokan terhadap Dosen Ade Armando, keadaannya di rumah sakit serta upaya polisi untuk menangkap pelaku pengeroyokan tersebut.
Mungkin orang sudah lupa apa isi tuntutan mahasiswa dalam demo tersebut. Mungkin terlalu banyak tuntutannya yang sampai dua belas, membuat orang lupa untuk mengingatnya. Dulu terkenal tuntutan aksi mahasiswa untuk menumbangkan rezim dengan tiga saja. Namanya Tritura, tiga tuntutan rakyat. Itupun disebutkan sebagai tuntutan rakyat, bukan tuntutan mahasiswa. Arah jelas, sasaran jelas. Semuanya jelas.
Berbeda dengan demo aksi 11 April. Semula dalam rancangannya mau menuntut menurunkan Jokowi. Lokasi semula adalah istana negara. Entah kenapa, topik berubah dari menurunkan Jokowi menjadi isu lain. Presiden tiga periode, penundaan pemilu, jika diakumulasi ada dua belas tuntutan. Lokasi berpindah dari istana ke DPR. Inkonsistensi? Ada apa? Kenapa berubah?
Apakah ada negosiasi atau perembukan yang mengakibatkan perubahan isu dan lokasi demo? Apakah ada yang masuk angin? Atau para disainer dan perancang serta pendukung demo ada yang tidak sepakat, lalu ada yang mundur? Adakah intervensi atau penyusupan dari pihak lain? Semua pertanyaan ini layak dilontarkan untuk bisa menjawab perubahan tersebut.
Sejak selesainya demo tersebut dan peserta membubarkan diri, maka berita hangat berpindah ke pengeroyokan Dosen Ade Armando. Wajah Ade Armando yang kena bogem mentah dan sangat tidak manusiawi menjadi pemandangan yang seru di media, baik media konvensional maupun media sosial. Ade Armando tiba-tiba menjadi topik yang menggema dan dibahas dimana-mana. Ade Armando seakan menjadi primadona panggung demo mahasiswa tersebut. Lho!
Demo ini kan panggungnya mahasiswa, kok pak dosen yang menjadi primadonanya? Biasanya dalam setiap panggung pertunjukan, selalu menghadirkan satu primadona untuk menarik perhatian orang terhadap pertunjukan tersebut. Sang primadona adalah pilihan dari panitia pertunjukan. Bukan orang lain atau bintang lain. Semuanya harus sesuai dengan tujuan pengadaan panggung pertunjukan tersebut.
Untuk konteks demo mahasiswa ini dan demo lainnya, biasanya selalu diminta ada primadona untuk memberikan orasi yang diharapkan bisa menjadi magnet dalam demo yang dapat  menjadi sumber berita dari panggung demo tersebut. Jika masih kita ingat demo berjilid-jilid dulu ketika Pilkada DKI Jakarta selalu ada tokoh yang menjadi primadona.
Adakah primadona yang dipersiapkan untuk demo mahasiswa 11 April? Apakah dalam rancangan demo dengan penyusunan korlap dan panduannya belum diatur siapa orator dan primadonanya? Kalau sudah diatur, kenapa bisa kecolongan? Kenapa berita pengeroyokan Dosen Ade Armando menjadi topik hangat dan berita panas yang mengalahkan berita tentang tuntutan mahasiswa?
Apakah pengeroyokan Dosen Ade Armando di panggung demo mahasiswa terjadi karena kebetulan, atau direncanakan atau ini hanya ekses? Entah manapun diantara yang tiga itu yang benar, namun kenyataannya, berita pengeroyokan itu telah menyita perhatian publik dan seakan membuat Ade Armando menjadi primadona di atas panggung demo mahasiswa tersebut.
Demo dilakukan biasanya untuk menarik perhatian publik dan pihak yang dituntut. Kalau hanya berkirim surat belum tentu dibalas dan belum tentu dibaca. Jika hanya melalui sarana komunikasi telepon atau WA, itu kan hanya bersifat pribadi. Dengan demo diharapkan ada publisitas dan bagaikan magnet yang menarik bagi media untuk memberitakannya.
Kenapa bisa Dosen Ade Armando menjadi primadona panggung demo mahasiswa? Kenapa panggung mahasiswa, dosen yang menjadi primadonanya? Ini bukan kelas kuliah, dimana mahasiswa duduk mendengarkan kuliah yang disampaikan dosen. Demo mahasiswa ini untuk menuntut pemerintah dan DPR. Bahkan semula rencana mau menurunkan Jokowi, seperti mimpi siang bolong para tokoh pendukung demo.