Pemberhentian permanen Dokter Terawan sebagai anggota IDI dalam Muktamar IDI Banda Aceh telah menjadi topik hangat dalam berbagai diskusi dan berita. Proses panjang sejak tahun 2013 hingga berakhir pemecatan permanen telah menjadi sebuah kontroversi. Pro dan kontra berhamburan setelah pengumuman pemberhentian permanen. Kenapa masalah ini  menjadi kontroversi?
Pertama, Dr Terawan ini adalah seorang dokter berpangkat Letjen bintang tiga dan pernah menjadi direktur RSPAD, rumah sakit milik TNI AD. Posisi ini tentu membuat posisinya yang strategis di TNI AD dan RSPAD yang memiliki pasien para pejabat tinggi negara.
Kedua, dia sebagai Mantan Menteri Kesehatan, walau hanya singkat, namun sepak terjangnya sebagai Menkes sempat menakutkan bagi perusahaan farmasi dan obat. Juga bermasalah dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Ada dugaan mafia farmasi yang berhubungan dekat dengan para dokter sepertinya terganggu. Apakah pergantiannya sebagai Menkes ada kaitannya dengan hal tersebut, wallahu alam.
Ketiga, masalah pengobatan cuci otak yang dikembangkannya di RSPAD dan kini dikembangkan ke Jawa Tengah telah membuat marah para dokter lainnya. Sesungguhnya awal masalahnya dimulai dari sini. Teknik dan cara pengobatan ini sangat ditentang oleh IDI dan dianggap sebagai pelanggaran kode etik. Di sisi lain, banyak pasien yang menganggap pengobatan itu manjur dan efektif menyembuhkan penyakit. Pasiennya yang sedemikian banyak dan ada beberapa pejabat penting di negeri ini. Para pasien ini tentu menginginkan pengobatan ini harus terus ada, sehingga izin praktek Dokter Terawan tidak boleh dicabut.
Keempat, masalah vaksin Nusantara yang dikembangkan Dokter Terawan juga menjadi masalah bagi IDI. Kenapa vaksin yang belum selesai diuji klinis sudah dikembangkan? Sementara impor vaksin sudah diatur dan sudah berjalan dengan baik. Disini kontroversinya juga mencuat keras. Ada dugaan bahwa pengembangan vaksin Nusantara ini akan mengganggu para penguasa impor vaksin. Impor vaksin adalah bagian dari impor obat dan alat kesehatan lainnya dan ini juga sudah ada penguasa dan aturannya tersendiri.
Dengan keempat faktor penyebab kontroversi ini, muncul tanggapan dari pemerintah menyangkut izin parktek dokter dan ingin merevisi peraturannya. Menkumham Yasonna Laoly dan Menko PMK Muhajir Efendi juga berkomentar. Sebelumnya Menkes Budi Gunadi juga sudah memberikan komentar dan akan mencoba memediasi masalah ini antara IDI dengan Dokter Terawan.
DPR juga tak kalah. Mereka memanggil Menkes dan IDI. IDI belum bersedia datang. Dan pertemuan tersebut masih dijadwalkan. Bagaimanakah nanti ujung persoalan ini? Apakah revisi peraturan yang disampaikan Menkumham Yasonna Laoly akan menyentuh kemandirian IDI sebagai organisasi profesi dan akan membuka ruang organisasi profesi tandingan?
Memang izin atau Surat Izin Praktek (SIP) dokter dikeluarkan oleh pejabat pemerintah melalui dinas kesehatan. Namun harus ada rekomendasi dari IDI sebagai organisasi profesi. Rekomendasi hanya bisa dikeluarkan bagi anggota. Anggota yang sudah diberhentikan permanen tentu tidak bisa dikeluarkan. Dengan demikian SIP Dokter Terawan yang berlaku hingga tahun 2025 akan berakhir tanpa perpanjangan. Lalu..?
Harapan kita, kasus yang kontroversial ini harus diselesaikan dengan bijaksana antara IDI, Menkes dan Dokter Terawan. Jika pemerintah mengintervensi masalah ini dan berakibat kepada posisi IDI sebagai organisasi profesi tunggal dan munculnya organisasi tandingan, maka ini akan menimbulkan masalah seperti organisasi profesi Advokat. Akan banyak masalah malpraktek bermunculan dan penegakan kode etik menjadi lemah. IDI harus memperhitungkannya dengan matang.
Tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan, sepanjang semua pihak memiliki itikad baik dan mau membuka diri berkomunikasi untuk mencari solusi. Jangan berlindung di balik gengsi dan harga diri yang berakibat kepada kerugian masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari dokter. Masyarakat tidak mengerti kode etik kedokteran yang dilanggar dengan metode cuci otak Dr Terawan. Mereka hanya tahu bahwa metode ini menolongnya.
Jika masalah ini tidak bisa diselesaikan, maka kepercayaan masyarakat kita terhadap dokter dan pelayanan kesehatan kita bisa berkurang. Kita sering mengeluhkan bahwa banyak orang Indonesia yang pergi berobat ke luar negeri. Itu tidak bisa dihempang, jika masalah seperti kasus Dr Terawan ini tidak bisa diselesaiakan dengan baik.