Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Moeldoko, Brutalitas Demokratif, dan Ketakutan Kubu Cikeas (SBY)

14 Maret 2021   10:26 Diperbarui: 14 Maret 2021   10:37 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada juga perseteruan di PKB antara Gus Dur almarhum dengan Muhaimin di era SBY presiden. Saling menggugat juga. Ramai juga. Ujungnya yah selesai dengan waktu juga. PKB tidak runtuh. Bahkan bisa bertumbuh juga dengan belajar dari konflik tersebut.

Ada juga konflik di Partai Hanura. Anatar OSO dan Wiranto pendirinya. Akhirnya Wiranto sang pendiri juga terdepak keluar dan Partai Hanura dikuasai oleh OSO. Indonesia tidak kiamat politik karena kisruh dan konflik partai politik itu. Jadi Partai Demokrat tidak usah khawatir bahwa konflik partai ini akan menenggelamkan demokrasi di Indonesia. Nggak separah itulah. Itu pelajaran dari konflik berbagai partai politik diatas loh.

Apakah ketakutan SBY dan kubu Cikeas sudah memuncak dan sampai diubun-ubun sehingga perlu segera menggugat para penggagas KLB Sibolangit ke pengadilan? Jika ini dilayani 10 orang tersebut dan sidang berlanjut sampai ke tingkat banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK), berapa lama sidang ini akan berlangsung? Bisa tiga, empat atau lima tahun? Kalau para tergugat menggunakan teknik mengulur kasus ini dan bahkan melakukan gugatan balik, berapa lama lagi kisruh partai ini akan berjalan?

Kelihatannya kepanikan dan ketakutan SBY dan kubu Cikeas semakin tidak masuk akal. Hal ini patut diduga akan sangat membahayakan masa depan AHY sebagai pemimpin muda yang sesungguhnya kita harapkan menjadi pemimpin masa depan. Dengan strategi SBY, ayahnya untuk melakukan perang habis-habisan akan membuat posisi AHY dan mungkin  prospeknya terganggu.

Kita boleh cemas, panik dan takut, tetapi hal itu tidak perlu diumbar dan ditunjukkan dengan vulgar. Gugatan yang dilakukan kubu Cikeas ini adalah hak mereka. Namun pemerintah saja belum menerima laporan dan susunan pengurus KLB, lalu kubu Cikeas sudah kebakaran jenggot dan marah. Gugatan ini merupakan indikatornya.

Kampanye keabsahan dan legalitas itu perlu, tetapi cukup seperlunya saja atau secukupnya. Jangan berlebihan, lebay dan bahkan bisa menjadi alat penghancur diri sendiri. Kenapa? Kita ambil contoh tentang gugatan ini. Dalam proses peradilan kita, jika ada gugatan ke pengadilan, maka tugas pembuktian ada di pihak penggugat. Penggugat wajib membuktikan segala isi petitum gugatannya. Tergugat hanya melawan atau menangkis gugatan tersebut. Apakah buktinya sudah cukup?

Jika penggugat berhasil membuktikan gugatannya, maka gugatannya akan diterima. Jika gugatannya tak bisa dibuktikan, maka gugatannya akan ditolak. Atau bisa juga gugatan tidak bisa diterima, karena kurang pihak atau kurang bukti dan berbagai hal yang menjadi pertimbangan hakim yang mengadili perkara gugatan tersebut.

Gugatan kubu Cikeas dan pernyataan BW sebagai kuasa hukum kubu Cikeas tentang brutalitas demokratif bisa membawa kubu Cikeas kepada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang prihatin, karena istilah brutalitas demokratif adalah sinetron lanjutan playing victim. Memang sangat disayangkan bahwa pengacara kubu Cikeaspun terjebak dengan gaya playing victim SBY. Kemungkinan kedua, publik dan pemerintah tidak menyukai tuduhan tersebut. Akhirnya, Moeldoko bisa saja diterima dan diakui melalui SK Kemenkumham.

Kubu Cikeas yang ketakutan seperti bangkit dan marah, lalu ingin menebarkan ketakutan kepada pemerintah. Tudingan baru berupa istilah brutalitas demokratif menjadi salah satu indikasinya. Apakah pemerintah akan takut dituduh melakukan tindakan brutalitas demokratif yang belum jelas diksi dan maknanya ini? Ataukah pemerintah sudah kesal,  sebal dan berada di tingkat kesabaran yang mencapai titik nadir?

Apakah publik menilai partai yang kisruh ini masih dianggap menjadi pilihan dalam Pemilu 2024? Apakah semua tindakan partai politik ini bisa dianggap sebagai sebuah tindakan yang terpuji atau tercela sebagai dasar pertimbangan untuk memilihnya? Ini tentu saja hak para pemilih untuk menilai dan menentukan sikapnya.

Kita berharap, bahwa Partai Demokrat bisa menyelesaikan kisruh dan konflik ini secara bijak.  Kepala harus dingin, walau hati panas, bisa mencari solusi, bukan mengobarkan api.  Mencari damai bukan perang tanpa tepi. Kenapa tidak menyediakan meja untuk makan nasi goreng dan ngopi? Tidakkah SBY bisa membuat nasi goreng yang enak untuk Moeldoko seperti nasi goreng untuk Prabowo dan tamu lainnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun