Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Bagaimana Mewujudkan Musik Etnik Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri?

13 Februari 2021   09:06 Diperbarui: 13 Februari 2021   09:18 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Panggung musik Indonesia diisi berbagai genre musik. Mulai dari pop, rock'nroll, regae, jazz, indie, klasik dan berbagai ragam musik yang lain. Radio dan TV kita diisi dengan berbagai konten kontes musik dan lagu impor, seperti Indonesian Idol yang diadopsi dari American Idol. Ada The Voice dan berbagai kontes lainnya.

Lalu dimanakah tempat musik etnik Nusantara kita yang kaya dengan kearifan lokal, berbagai alat musik dan lagu daerah kita. Ivan Nestorman, musisi dan penyanyi lagu daerah Flores penerima Anugerah Musik Indonesia Award 2020 kategori lagu daerah, berkata dalam sebuah wawancara dengan Sang Kakek Network Channel,  "Musik etnik dan lagu daerah itu terpinggirkan. Tidak ada stasiun TV dan radio yang mau memutar lagu daerah. Kami kalah, tak ada tempat bang," katanya setengah menghiba.

Jika kita tanya anak atau cucu kita, apakah mereka masih mengetahui lagu daerah dan musik etnik daerah asalnya? Belum tentu. Jangankan anak dan cucu, para generasi baby boomer pun belum tentu lagi mengetahui atau menyukai lagu daerah dan musik etnik. Mungkin juga ini seiring dengan makin sulitnya generasi milenial berbahasa daerah. Musik etnik dan lagu daerah sejalan juga dengan pemahaman bahasa.

UNESCO sebuah badan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di tahun 2015 yang lalu merilis sebuah pernyataan yang menyentak tentang bahasa daerah. Menurut perkiraan UNESCO bahwa setelah tiga generasi, (satu generasi dihitung 25 tahun), maka pada tahun 2090, sembilan puluh persen bahasa daerah yang ada di dunia  akan punah. Lho, kok bisa?

Gambarannya demikian. Generasi pertama 2015-2040, orang tua masih bisa dan mengerti bahasa daerah. Anaknya masih bisa dan mengerti bahasa daerah. Generasi kedua, 2040-2065, si anak generasi pertama menjadi orang tua di generasi kedua, masih bisa dan mengerti.  Anaknya bisa mengerti tapi tidak bisa lagi berbahasa daerah. Generasi ketiga, 2065-2090, si anak di generasi kedua menjadi orang tua di generasi ketiga, Masih mengerti tapi tidak bisa lagi berbahasa daerah. Anaknya tidak mengerti lagi bahasa daerahnya dan tidak bisa berbahasa daerah. Maka punahlah bahasa daerah itu.

Demikian gambaran dari perkiraan UNESCO tersebut. Sejak itulah kesadaran untuk menyelamatkan berbagai bahasa daerah. UNESCO menetapkan 21 Pebruari sebagai hari Bahasa Ibu Internasional. Pada hari itu diharapkan setiap insan di dunia mengingat bahasa ibunya. Dengan demikian upaya penyelamatan bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu bisa diselamatkan.

Nah, karena musik etnik dan lagu daerah tidak terlepas dari bahasa daerah. Bahasa, musik dan lagu daerah adalah setali tiga uang. Mungkinkah ini sekaligus punah? Bisa juga, jika kita tidak menjaga dan menyelamatkannya. Apa yang diucapkan Ivan Nestorman musisi dan penyanyi lagu daerah yang dikutip diatas sudah menjadi gambaran bagaimana musik dan lagu daerah terpinggirkan sekarang. Tahun 2090? Mungkin sudah hanya penghuni museum, jika ada yang memasukkannya ke museum.

Lalu apakah kita hanya meratapi dan nanti akan menyesal, kenapa kita tidak pernah menyelamatkan musik dan lagu daerah kita ini? Sebelum terlambat, ayo bertindak. Demikian yang dilakukan Sang Kakek Network Channnel untuk mencegah kepunahan dan terpinggirkannya musik dan lagu daerah ini. Lalu dirancanglah satu acara kolaborasi dua musik etnik dari Flores dan Batak, secara khusus Batak Toba.

Dalam konser ini akan mendengar indahnya suara Sasandau dan alat musik unik lainnya. Dari Batak akan terdengar suara Tulila, alat musik kuno yang kini semakin langka dan hampir punah dimainkan Hardoni "Tulila" Sitohang. Bagaimana kolaborasi para musisi yang menciptakan sebuah lagu Beta Kesa. Beta berasal dari bahasa Batak artinya ayo dan Kesa dari bahasa Flores artinya kawan. Beta Kesa, ayo kawan. Dan mereka berkawan menciptakan lagu ini.

Ada dua misi sekaligus yang ingin dicapai dengan Konser Musik Flores Meet Batak ini. Pertama, upaya mewujudkan musik dan lagu daerah ini menjadi tuan rumah di negeri sendiri, jangan terpinggirkan. Kedua, hasil yang diperoleh melalui penjualan tiket virtualnya akan menjadi suntikan ekonomi bagi mereka para musisi dan seniman yang terkapar karena Pandemi Covid-19.

Mungkin uang beli tiket ini tidak seberapa bagi sebagian orang, namun jika anda memberikan itu untuk acara ini, maka pemberian itu akan bernilai ganda. Pertama, secara moral dan semangat itu akan menyemangati mereka, para musisi ini  untuk menekuni musik dan lahu daerah. Kedua, partisipasi itu akan membantu mereka secara ekonomi. Menghadapi pandemi ini akan sedikit berpengharapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun