Wacana tentang Pilkada Serentak telah memnuhi debat publik dan media kita. Para pakar dan pengamat politik mengumbar pendapat dan argumentasi. Ada yang mengatakan Pilkada Serentak tahun 2022 ditunda pemerintah adalah untuk menjegal Anies. Ada yang mengatakan Jokowi ada agenda sehingga menunda Pilkada Serentak 2022 ke tahun 2024. Dan masih banyak lagi komentar pakar dengan segala kepentingannya.
Terkadang lucu juga mendengar dan mengamati perbedaan pendapat dan wacana tersebut. Beda pendapat sih boleh-boleh saja. Dan sah-sah saja. Namun kalau sampai melakukan plintir dan membalikkan fakta serta aturan yang sudah ada, kita patut prihatin. Mengajukan jagoannya, itu oke. Namun perlu memahami aturan dan Undang-undang yang berlaku menjadi sangat penting.
Pilkada Serentak itu akan dilakukan pada bulan Nopember 2024. Bukan tahun 2022. Lho, kenapa bisa begitu? Aturan hukum atau Undang-undang yang sudah ditetapkan di dalam UU no 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU no 1 tahun 2015 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang no 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-undang yang menetapkannya tahun 2024.
Dalam pasal 201 UU no 10 tahun 2016 tersebut dalam ayat 8 dan 9 diatur seperti ini.
Ayat (8): Pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan Nopember 2024.
Ayat (9): Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana diatur dalam ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, Penjabat Bupati dan Penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui pemilihan serentak nasional tahun 2024.
Pasal 201 UU no 10 ini masih berlaku sampai sekarang sebagai hukum positif di Indonesia. Dan perlu dicatat dan diingat bahwa Pilkada serentak yang dilakukan pada tahun 2017, 2018 dan 2020 yang lalu adalah pelaksanaan dari UU no 10 tahun 2016 tersebut yang diatur dalam pasal 201 ayat (1) sampai ayat (7) serta pasal-pasal lain dalam UU no 10 tahun 2016 tersebut. Jadi UU no 10 tahun 2016 inilah dasar hukum dan payung hukum pelaksanaan Pilkada Serentak tersebut.
Jika Pilkada Serentak 2017, 2018 dan 2020 berdasarkan UU no 10 tahun 2016 ini, kenapa untuk Pilkada Serentak 2024 yang diatur pasal 201 Â ayat (8) dan ayat (9) ini tiba-tiba mau diubah di tengah jalan dan seakan-akan Pilkada Serentak selanjutnya adalah tahun 2022 dan 2023?
Wacana dan isu Pilkada Serentak 2022 dan 2023 hanyalah atau masih sebatas usulan dari DPR yang akan mengajukan Revisi UU no 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Dan harus dicatat pula ini. DPR menggunakan hak inisiatif untuk Revisi UU Pemilu tahun 2017. Bukan Revisi UU no 10 tahun 2016. Hanya alasannya, bahwa Pilkada mau disatukan dengan UU Pemilu.
Disini muncul kerancuan pola pikir DPR yang mengajukan Pilkada disatukan ke UU Pemilu. Pilkada bukan termasuk rezim pemilu. Bagaimana mungkin menyatukannya dengan sim salabim ala DPR sekarang? Dari sudut anggaran juga berbeda. Pemilu dibiayai APBN, Pilkada dibiayai oleh APBD. Memadukan Pemilu dan Pilkada yang berbeda rezim dan anggaran terlalu disederhanakan oleh DPR sekarang yang mengajukan inisiatif Revisi UU Pemilu. Sekali lagi revisi UU Pemilu, bukan UU tentang Pilkada sebagaimana diatur dalam UU no 10 tahun 2016 tersebut. UU Pilkada mau dileburkan ke UU Pemilu? Wow, luar biasa idenya, namun sulit menggabungkannya.
Bagaimana menggabungkan dua rezim UU yang berbeda  menjadi satu. Apa dasar, alasan dan argumentasinya? Apakah sudah didasari dengan sebuah kajian ketatanegaraan dan legal draft yang benar, sehingga DPR dengan gagah berani mengajukan ini? Naskah akademisnya sudah adakah? Memang Fraksi di DPR belum sepakat.