Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Anak (Gibran) Menjadikan Ayah (Jokowi) Menjadi Panutan, Salahkah?

24 Juli 2020   08:17 Diperbarui: 24 Juli 2020   08:13 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jokowi sebagai presiden seringkali sulit ditebak. Terkadang dia sangat pintar menyembunyikan apa yang ada dalam hatinya. Termasuk masalah pilihan anaknya. Kita seakan kaget ketika Gibran maju sebagai kandidat dalam Pilkada Solo. Tuduhan dinasti politik dan politik dinasti bergaung dimana-mana dan arah tembakannya adalah Presiden Jokowi.

Tulisan ini mau melihat dari perspektif keluarga. Bagaimana seorang anak yang menjadikan ayahnya sebagai panutan, lalu langkah-langkahnya disusun seperti mengikuti jejak ayahnya.

Dalam pembinaan anak dalam keluarga, ayah dan ibu tentu menginginkan anaknya menjadi anak yang baik, sukses dan berguna bagi keluarga dan banyak orang. Anak selalu dididik mengikuti ajaran agama dan budi pekerti orangtuanya.

Sehebat-hebatnya ayah dan ibu mengajarkan teori tentang kehidupan, ajaran tentang agama kepada anak, seringkali anak kurang mengikutinya. Yang diikutinya adalah perilaku dari ayah ibunya. Itu berlaku umum. Walaupun ada juga pengecualiannya. Ayah ibu yang baik, eh ternyata ada anaknya yang nakal dan bahkan jahat. Ada keluarga yang berantakan perilakunya, eh, ada anaknya yang baik dan sukses. Tidak ada rumus pasti, karena kehidupan keluarga bukan rumus matematika yang pasti. Dalam  prinsip hukum dikenal istilah,  setiap ketentuan, selalu ada pengecualian.

Dalam konteks keluarga Jokowi, Gibran sang anak seakan meniru ayahnya. Memulai usaha dengan menjual martabak, menjual pisang goreng dan memperluas bisnis martabak dan pisang gorengnya. Dengan ketekunan dan berdasarkan ilmu yang diperolehnya sampai ke luar negeri, bisnisnya sukses.

Kenapa Gibran harus capek-capek menjadi pengusaha martabak dan pisang goreng? Sebagai anak walikota, gubernur dan presiden, dia bisa menjadi pengusaha di lingkungan kekuasaan. Berbisnis proyek dan bisnis jabatan, itu sangat menggiurkan. Namun dia kukuh menjadi pengusaha martabak dan pisang goreng seperti ayahnya menjadi pengusaha kayu sebelum menjadi walikota Solo.

Sekiranya Gibran meniru anak Soeharto dulu, bagaimana Bambang sebagai pengusaha yang menguasai Bimantara dan Televisi swasta pertama RCTI, Tutut membangun jalan tol layang by pass Jakarta, bagaimana Tommy menguasai bisnis Cengkeh dan Prabowo sebagai menantu moncreng karir militernya. Bisinis keluarga presiden menggurita.

Di era SBY menjadi presiden juga bisnisnya marak. Gurita Cikeas, demikian  seorang penulis buku menyebutnya. Dia menggambarkan bagaimana bisnis dari keluarga presiden dan kroninya menggurita dalam berbagai bidang yang terkait dengan kekuasaan dan kebijakan dari penguasa.

Namun Gibran dan keluarga Jokowi kukuh tidak mengikuti perilaku anak dan keluarga dua presiden tersebut. Mungkin karena tidak ada keterkaitan dari Jokowi kepada dua presiden tersebut. SBY meniru Soeharto dalam beberapa hal tentu saja pengaruh dari jabatan SBY yang pernah menjadi ajudan daripada Soeharto.

Jokowi juga tidak mengikuti SBY membuat partai. Sebenarnya para relawan pada waktu itu sudah siap jika Jokowi ingin membentuk partai. Namun hal ini pasti menimbulkan persoalan dengan PDIP yang mengusungnya dan menganggap dia sebagai petugas partai. Sekiranya dia membuat partai, pasti anaknya dipersiapkan menjadi Ketua umum penggantinya seperti yang dilakukan SBY.

Gibran kini menjadikan ayahnya Jokowi sebagai panutan. Dan panutannya sangat kuat. Setelah mengikuti jejaknya menjadi pengusaha, maka dia mengikuti dengan karir politik sebagai walikota Solo. Disinilah muncul isu dan tuduhan dinasti politik dan politik dinasti sebagaimana yang disebutkan di awal tulisan ini.

Apakah salah, jika seorang anak meniru dan membuat ayahnya menjadi panutan? Tidak salah. Adakah peraturan yang dilanggar Gibran ketika dia menjadi peserta dalam pilkada Solo? Tidak ada. Banyak orang mengatakan tidak etis dan tidak pantas. Dimana ketidakpatutan dan ketidakpantasannya? Sebagai makhluh filsafat, kita bisa bertanya berkepanjangan terus menerus. Bagi pengagum teori Hegel, ini bisa menjadi dialektika. Tesis versus anti tesis yang melahirkan sintetis.

Apakah niat Gibran menjadi calon walikota harus dibunuh dan dipadamkan karena ayahnya sedang menjabat Presiden. Coba kita berempati. Jangan-jangan jika kita menjabat sebagai presiden, kita juga belum tentu bisa melakukan seperti yang kita katakan dan tuduhkan kepada Jokowi. Jangan-jangan kita akan meniru gaya Soeharto atau SBY, atau bahkan lebih dari itu.

Namun namanya juga penonton. Selalu lebih pintar dari pemain. Namanya juga pengamat dan ahli selalu merasa lebih hebat dalam menilai dan menjatuhan hukuman atau vonis dari hakim yang berwenang sekalipun. Wajar dan manusiawi. Dan disinilah menariknya kehidupan berbangsa dan bernegara yang dinamis. Dinamis, kritis dan selalu banyak pendapat pro kontra, hidup penuh warna, bukan sekedar hitam putih.

Kembali ke Gibran sebagai anak dan Jokowi sebagai ayah. Jokowi selalu mengatakan, semua tergantung anak. Ketika dia melihat anaknya belum berminat terjun ke politik, dia kembalikan kepada anaknya. Menantunya Bobby Nasution terlebih dahulu memberikan minat ke politik. Lalu kenapa Gibran yang lebih dulu direstui PDIP? Disinilah mungkin berlaku hukum keluarga tersebut.

Ketika Gibran menyatakan ingin terjun ke politik, maka sang ayah mendukungnya langsung. Siapakah ayah yang tidak ingin mendukung keinginan anaknya? Apakah karena isu dinasti politik dan politik dinasti, Gibran dan Jokowi harus mundur salah satu? Kan tidak begitu juga kali.

Ini bisa dipahami. Kenapa Soeharto di akhir jabatannya mengangkat Tutut, putrinya menjadi Menteri Sosial, bukan Prabowo sebagai menantu yang diangkat menjadi menteri yang sudah berpangkat jenderal? Menantu adalah bagian dari keluarga, namun masih lebih utama putra atau putri secara langsung.

Jika Gibran sebagai anak menjadikan Jokowi (Ayahnya) menjadi panutan dan mengikuti langkahnya meniti karir dari pengusaha ke walokota Solo, sebagai sebuah keluarga patut kita tiru. Sang ayah mendukung anaknya.

Namun sekali lagi yang perlu kita ingatkan kepada keluarga Jokowi, janganlah menyalahgunakan jabatan sebagai presiden dan fasilitas negara untuk mendukung Gibran menjadi walikota. Namun kalau pengaruh sebagai anak presiden lalu dia menang, itu hanya pengaruh.

Dalam Pemilu dan Pilkada semua kandidat berlomba mencari orang yang berpengaruh dalam tim kampanye dan tim pemenangan? Ada yang merekrut mantan pejabat, artis terkenal dan berbagai orang berpengaruh di daerah tersebut. Ini sesuatu yang lumrah.

Kita berharap Gibran bisa bertindak dan berperilaku sebagai calon walikota atau bahkan jika menang nanti menjadi walikota tidak pongah dan berusaha menggunakan jabatan ayahnya sebagai presiden untuk keberhasilannya. Biarlah dia berjuang dan membuat peta jalannya sendiri untuk meraih mimpinya menjadi walikota Solo dan bisa membangun Solo lebih baik dari pendahulunya, termasuk ayahnya Jokowi. Semoga.

Terima kasih dan salam.

Aldentua Siringoringo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun