Jokowi sebagai presiden seringkali sulit ditebak. Terkadang dia sangat pintar menyembunyikan apa yang ada dalam hatinya. Termasuk masalah pilihan anaknya. Kita seakan kaget ketika Gibran maju sebagai kandidat dalam Pilkada Solo. Tuduhan dinasti politik dan politik dinasti bergaung dimana-mana dan arah tembakannya adalah Presiden Jokowi.
Tulisan ini mau melihat dari perspektif keluarga. Bagaimana seorang anak yang menjadikan ayahnya sebagai panutan, lalu langkah-langkahnya disusun seperti mengikuti jejak ayahnya.
Dalam pembinaan anak dalam keluarga, ayah dan ibu tentu menginginkan anaknya menjadi anak yang baik, sukses dan berguna bagi keluarga dan banyak orang. Anak selalu dididik mengikuti ajaran agama dan budi pekerti orangtuanya.
Sehebat-hebatnya ayah dan ibu mengajarkan teori tentang kehidupan, ajaran tentang agama kepada anak, seringkali anak kurang mengikutinya. Yang diikutinya adalah perilaku dari ayah ibunya. Itu berlaku umum. Walaupun ada juga pengecualiannya. Ayah ibu yang baik, eh ternyata ada anaknya yang nakal dan bahkan jahat. Ada keluarga yang berantakan perilakunya, eh, ada anaknya yang baik dan sukses. Tidak ada rumus pasti, karena kehidupan keluarga bukan rumus matematika yang pasti. Dalam  prinsip hukum dikenal istilah,  setiap ketentuan, selalu ada pengecualian.
Dalam konteks keluarga Jokowi, Gibran sang anak seakan meniru ayahnya. Memulai usaha dengan menjual martabak, menjual pisang goreng dan memperluas bisnis martabak dan pisang gorengnya. Dengan ketekunan dan berdasarkan ilmu yang diperolehnya sampai ke luar negeri, bisnisnya sukses.
Kenapa Gibran harus capek-capek menjadi pengusaha martabak dan pisang goreng? Sebagai anak walikota, gubernur dan presiden, dia bisa menjadi pengusaha di lingkungan kekuasaan. Berbisnis proyek dan bisnis jabatan, itu sangat menggiurkan. Namun dia kukuh menjadi pengusaha martabak dan pisang goreng seperti ayahnya menjadi pengusaha kayu sebelum menjadi walikota Solo.
Sekiranya Gibran meniru anak Soeharto dulu, bagaimana Bambang sebagai pengusaha yang menguasai Bimantara dan Televisi swasta pertama RCTI, Tutut membangun jalan tol layang by pass Jakarta, bagaimana Tommy menguasai bisnis Cengkeh dan Prabowo sebagai menantu moncreng karir militernya. Bisinis keluarga presiden menggurita.
Di era SBY menjadi presiden juga bisnisnya marak. Gurita Cikeas, demikian  seorang penulis buku menyebutnya. Dia menggambarkan bagaimana bisnis dari keluarga presiden dan kroninya menggurita dalam berbagai bidang yang terkait dengan kekuasaan dan kebijakan dari penguasa.
Namun Gibran dan keluarga Jokowi kukuh tidak mengikuti perilaku anak dan keluarga dua presiden tersebut. Mungkin karena tidak ada keterkaitan dari Jokowi kepada dua presiden tersebut. SBY meniru Soeharto dalam beberapa hal tentu saja pengaruh dari jabatan SBY yang pernah menjadi ajudan daripada Soeharto.
Jokowi juga tidak mengikuti SBY membuat partai. Sebenarnya para relawan pada waktu itu sudah siap jika Jokowi ingin membentuk partai. Namun hal ini pasti menimbulkan persoalan dengan PDIP yang mengusungnya dan menganggap dia sebagai petugas partai. Sekiranya dia membuat partai, pasti anaknya dipersiapkan menjadi Ketua umum penggantinya seperti yang dilakukan SBY.
Gibran kini menjadikan ayahnya Jokowi sebagai panutan. Dan panutannya sangat kuat. Setelah mengikuti jejaknya menjadi pengusaha, maka dia mengikuti dengan karir politik sebagai walikota Solo. Disinilah muncul isu dan tuduhan dinasti politik dan politik dinasti sebagaimana yang disebutkan di awal tulisan ini.