Keributan dan kehebohan penindakan terhadap tiga jenderal, lurah Grogol Selatan, pemeriksaan Kajari Jakarta Selatan telah menghiasi media kita. Satu orang penyebabnya dengan santai dan tenang tinggal di Malaysia.
Joko nyaman di Malaysia, demikian berita Kompas Jumat 17 Juli 2020. "Pak Joko sudah nyaman berada di Malaysia. Dia tidak ingin berada di Indonesia untuk tinggal. Dia datang hanya untuk meluruskan haknya," ujar Anita pengacara Djoko Tjandra.
Salah satu properti Joko di negara tetangga tersebut adalah Gedung Exchange 106 di Kawasan Tun Razak Exchange Kuala Lumpur. Masih menurut pengacaranya kepemilikan Djoko atas properti di Kuala Lumpur tersebut didapat melalui grup usahanya, seperti dikutip Kompas.
Pertanyaan kita kepada Menko Polhukam yang membawahi dan  kordinasi dengan Kapolri dan Menkumham, kapan Djoko Tjandra dijemput dari Malaysia? Kenapa Pauline buronan kasus Pembobolan BNI bisa dijemput dari Serbia, sementara Djoko Tjandra sangat dekat di Malaysia tidak dijemput?
Apakah red notice belum dibuat lagi sehingga status Djoko Tjandra bukan lagi buronan Interpol? Apakah permintaan Kejaksaan Agung tentang DPO belum cukup alasan untuk mengirimkan kembali red  notice ke Interpol? Apakah penghapusan red notice dari Interpol sifatnya tetap dan tak bisa dimuat lagi? Apakah pejabat NCB Interpol Indonesia yang baru belum membuat permohonan red notice baru?
Kesulitan mengembalikan Pauline dari Serbia yang hampir setahun ditahan Serbia adalah perlindungan dan pembelaan Pemerintah Belanda yang meminta Pauline diadili di Belanda. Alasannya karena Pauline warga negara Belanda.
Apakah pemerintah Malaysia melindungi Djoko Tjandra? Apakah pemerintah Indonesia melalui Kemenkumham dan Bareskrim tidak bisa meminta kerja sama Interpol di Malaysia untuk mengembalikan Djoko Tjandra ke Indonesia agar bisa menjalani hukumannya?
Jika Djoko Tjandra sudah merasa nyaman tinggal di Malaysia, lalu bagaimana hukuman yang dijatuhkan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hokum yang tetap yang belum dijalaninya? Apakah kegaduhan yang ditinggalkan Djoko Tjandra bisa dibuat sebagai alasan untuk tidak mengejar dan menangkapnya untuk dibawa ke Indonesia.
Kapolri jangan hanya sibuk mengurusi jenderal yang membantu Djoko Tjandra, namun lupa untuk menangkap buronan yang membuat masalah tersebut. Dengan pengurusan e-KTP tanggal 8 Juni 2020 di kelurahan Grogol selatan Jakarta Selatan, maka patut diduga dia masih WNI. Berarti tidak ada alasan soal kewarganegaraan.
Jika kewarganegaraan yang dibuat alasan, Pauline juga sudah warga negara Belanda, toh bisa dijemput dari Serbia. Masalahnya dimana? Apakah pemerintah Malaysia melindungi Djoko Tjandra karena ada bisnisnya di Malaysia dengan properti yang disebutkan diatas? Atau justru masalahnya di kalangan penegak hukum kita di Bareskrim yang tidak menginginkan menagkap dan mengembalikan Djoko Tjandra ke Indonesia?
Pemuatan berita Joko nyaman di Malaysia di halaman 1 harian Kompas cukup jelas mewartakan kepada seluruh masyarakat Indonesia, secara khusus kepada para aparat penegak hukum kita. Jika pak Menko Polhukam sempat ingin menghidupkan Tim Pemburu Koruptor, kenapa tidak memburu dan menangkap Djoko Tjandra saja dulu.