Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Sang Penyiram Air Keras

16 Juni 2020   07:10 Diperbarui: 16 Juni 2020   16:16 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semangat Pagi Indonesia

Sang Penyiram Air Keras.

   "Selamat pagi kek," sapa Sang Cucu sambil meletakkan kopi kakeknya.

   "Selamat pagi juga," jawab Sang Kakek.

   "Kenapa sih tuntutan terhadap Sang Penyiram Air Keras ini diributin?" tanya Sang Cucu.

   "Biasalah, ini zaman heboh. Apalagi menyangkut orang tertentu pasti dibuat heboh," jawab Sang Kakek.

   "Inikan penyiram dan pemboncengnya sama-sama dituntut satu tahun, katanya ini terlalu ringan," kata Sang Cucu.

   "Apa ukurannya terlalu ringan atau tidak ringan?" tanya Sang Kakek.

   "Yang disiram air keras ini kan penyidik KPK kek. Makanya dia meminta presiden turun tangan menangani ini," kata Sang Cucu.

   "Hukum itu tidak pandang bulu. Semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Mau penyidik KPK, mau Ketua KPK, mau menteri itu semua sama di hadapan hukum," jawab Sang Kakek.

   "Penyidik KPK itu kan orang penting kek. Tugas mereka kan memeriksa para koruptor di negeri ini. Wajar dong mereka menganggap diri orang penting," kata Sang Cucu.

   "Pemberantasan korupsi sudah ada sejak merdeka, karena pasal korupsi itu sudah ada di dalam KUHP. Hanya saja sesudah reformasi dibuat aturan khusus tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Nanti kalau penyidik korupsi di Polri dan Kejaksaan meminta keistimewaan, repot negara ini. Jangan dibuat  seakan pemberantasan korupsi ada setelah KPK ada," jawab Sang Kakek.

   "Ya, tapi sebelum KPK ada, Kepolisian dan Kejaksaan kan memble memberantas korupsinya kek," kata Sang Cucu seakan menyindir kakeknya.

   "Itu bisa diperkuat. Tapi kalaupun dibuat KPK, jangan terus menganggap dirinya jauh lebih penting dan seakan apapun menyangkut penyidik KPK harus diistimewakan," kata Sang Kakek.

   "Apa yang diistimewakan kek?" tanya Sang Cucu.

   "Coba dihitung biaya perawatan penyidik KPK yang disiram air keras ini di Singapura. Kenapa tidak dirawat di Indonesia? Tidak percaya dengan dokter dan rumah sakit Indonesia? Siapa yang membayar biaya perawatannya? Negara ini, pajak rakyat itu. Biaya mereka selama perjalanan dinas dan semua biayanya ditanggung negara. Memang mereka terlalu diistimewakan, akhirnya merasa mereka merasa lebih hebat dari yang lain," kata Sang Kakek.

   "Mereka kan menjalankan tugas negara kek," sanggah Sang Cucu.

   "Semua aparatur negara yang menjalankan tugas, itu tugas negara. Tapi ada pembatasan yang ketat. Tapi kelebihan mereka ini ya itu tadi, karena mereka penyidik KPK. Padahal Ketua KPK pun pernah ditangkap dan dipenjarakan. Tak seheboh ini. Ada yang dituduh membunuh lalu dipenjarakan. Itu Ketua KPK. Ini Cuma penyidik, hebohnya minta ampun," kata Sang Kakek.

   "Tapi masyarakat kan memprotes tuntutan ringan ini," kata Sang Cucu.

   "Rakyat yang mana? Ini yang ribut siapa? Kenapa presiden harus diseret-seret harus turun tangan untuk kasus ini? Apa presiden sudah turun pangkat menjadi mengurus satu kasus hukum. Masa presiden harus diseret-seret untuk satu kasus penyiraman air keras," jelas Sang Kakek.

   "Kenapa kakek mengatakan begitu? Sebenarnya apa sih masalahnya ini kek?" tanya Sang Cucu.

   "Ini awalnya hanya masalah korps mereka di trunojoyo sana. Penyidik yang disiram ini kan berasal dari sana. Setelah di KPK, karena merasa lebih hebat dari temannya yang lain, muncul kesombongan, ini menurut para temannya. Terjadilah masalah antara KPK dengan Polri, nah korban air keras ini jelas peranannya. Lalu muncul sakit hati, ketersinggungan dan akhirnya berkembang sedemikian rupalah. Seharusnya mereka harus menyelesaikannya di korpsnya. Jangan kegagalan menyelesaikan masalah di korps menyeret presiden. Masalah ini juga dipendam dan tak diusut. Presiden sudah memerintahkan berapa kali supaya ini diselesaikan, namun mereka tidak juga menyelesaikan," jawab Sang Kakek.

   "Awal muasalnya begitu ya kek?" tanya Sang Cucu.

   "Itu juga yang diungkapkan dalam persidangan itu. Hanya masalah ini jauh lebih ribut di luar persidangan. Kasus ini seharusnya pertarungan untuk membuktikan kasus penyiraman air keras. Korban juga harus memberikan keterangan dan kesaksian yang membantu penyelesaian kasus ini. Kita sepakat barang siapapun yang menyiram air keras ini harus dihukum. Bagaimana pembuktian dan hukumannya, kita serahkan ke persidangan. Biar jaksa, pembela, hakim yang menyidangkan perkara ini bisa memutuskan berdasarkan fakta persidangan," kata Sang Kakek.

   "Ini kan protes karena Jaksa menuntut terlalu ringan," kata Sang Cucu.

   "Kalau tidak percaya lagi ke pengadilan, ya jangan bawa kasus ini ke pengadilan. Buat saja pengadilan sendiri," kata Sang Kakek.

   "Kakek jangan seperti marah ke saya dong," kata Sang Cucu.

   "Ini belum marah. Tapi segala kehebohan dan menuntut presiden turun tangan sudah kelewatan. Lakukan upaya maksimal di pengadilan, kalau tidak puas, lakukan banding atau kasasi. Jangan seakan runtuh hukum dan keadilan dengan satu kasus ini. Sementara banyak rakyat menderita akibat penggusuran, rakyat menderita karena pandemi Covid-19, korban PHK, pedagang kaki lima kesulitan karena tak bisa berdagang dan jutaan rakyat menderita. Kenapa tidak ini kita hebohkan dan saling membantu?" kata Sang Kakek.

   "Itukan tugas pemerintah kek. Bukan tugas tukang heboh ini," kata Sang Cucu.

   "Makanya pemerintah dan presiden mengatasi masalah pandemi ini. Jangan diminta mengurus satu kasus hukum. Biarkan presiden mengurus pandemi Covid-19 ini. Kasusnya hadapi sendiri. Tidak usah seret-seret presiden," kata Sang Kakek.

   "Jadi biarkan saja kasus ini diputuskan pengadilan ya kek. Biarkan juga pemerintah dan presiden melakukan tugas negaranya. Tapi biarkan jugalah para pakar heboh ini membuat kehebohan kek," kata Sang Cucu.

   "Bolehlah, silahkanlah heboh, kita menonton kehebohan saja ya," kata Sang Kakek.

Ah, kasus penyiraman air keras, hebohnya minta ampun, menyeret presiden harus turun tangan, emangnya kasus ini apa sih? Tugas presiden masih banyak mengurus 270 juta rakyat, tidak untuk mengurus satu orang, gumam Sang Kakek.

Terima kasih dan salam hangat.

Aldentua Siringoringo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun