Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bumi, Bukan Warisan, tetapi Pinjaman dari Anak dan Cucu

6 Juni 2020   12:16 Diperbarui: 6 Juni 2020   12:07 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam dekade 1991-2000 untuk menutup abad XX, umat seluruh dunia memilih tema yaitu Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC). Berbagai topik dibahas dan dipilih menjadi tema yang dikumandangkan ke seluruh dunia.

Kecemasan akan pemanasan global, perubahan iklim, perusakan hutan yang mengakibatkan hilangnya paru-paru dunia, pencemaran air karena limbah industri, pembuangan sampah ke laut dan berbagai isu lingkungan yang mengancam bumi.

Salah satu topik yang cukup hangat dibahas adalah tentang bumi, bukan warisan, tetapi pinjaman dari anak cucu sebagaimana judul diatas. Isu itu masih sangat relevan disuarakan terus menerus hingga sekarang. Kenapa?

Pemanasan global masih menkhawatirkan. Cairnya es di kutub utara akibat pemanasan global bisa membuat permukaan lau naik dan sangat berbahaya bagi keselamatan dunia masa mendatang.

Contoh lain, pencemaran air di Danau Toba dengan pengembangan dengan Keramba Jala Apung (KJA) oleh perusahaan asing yang diikuti juga masyarakat lokal membuat Danau Toba makin keruh. Setiap hari berton-ton pellet kimiawi ditaburkan ke KJA. Tidak semua habis dimakan ikannya. Sebagian jatuh ke dasar danau dan menjadi sampah kimiawi yang merusak kejernihan air. Menimbulkan gatal-gatal dan lain sebagainya.

Ada juga penghancuran hutan dengan membabat dan mengambil kayunya demi kelangsungan pabrik bubur kertas yang ada di sekitar Danau Toba. Berbagai kegiatan perusakan lingkungan hidup tersebut, jika berlangsung terus menerus akan memunculkan kerusakan lingkungan yang berat dan akan menimbulkan bencana alam longsor atau kekeringan jangka panjang.

Di belahan bumi yang lain hal seperti itu masih berlangsung terus menerus. Hutan di Kalimantan, Sulawesi, bahkan Papua sudah dijadikan menjadi kebun kelapa sawit. Upaya deforestasi terus menerus berlangsung.

Boikot Uni Eropa terhadap CPO Indonesia dengan isu deforestasi membuat kita mengalami kesulitan. Walau pemerintah kita sudah berusaha sekuat tenaga untuk menghadapinya, alangkah eloknya jika kita memang merubah strategi pengembangan kebun kelapa sawit.

Dalam istilah pertanian kita, ekstensifikasi atau intensifikasi. Perluasan lahan atau pengembangan intensi atas lahan yang ada dengan  teknologi perkebunan dengan lahan yang ada. Peremajaan kebun yang sudah tua memang harus dilakukan dengan pengembangan bibit unggul dan teknologi pertanian yang canggih yang bisa melipatgandakan hasil perkebunan.

Ada perkebunan yang hanya menghasilkan 10 ton atau 20 ton per tahun. Namun ada perkebunan yang mampu menghasilkan hasil sampai 6o ton pertahun. Perbedaannya adalah memilih bibit unggul, perawatan dan pemeliharaan berupa pemupukan  yang cukup canggih. Kalau bisa seperti itu, kenapa harus dipaksakan lagi dengan perluasan kebun dan pembabatan serta pembakaran hutan untuk kepentingan hasil kelapa sawit kita?

Ini tentu menyangkut keinginan para pemangku kepentingan kita. Banyaknya pengusaha yang ingin memperluas lahan perkebunan kelapa sawitnya dan bahkan ada pengusaha baru yang mau membuka lahan perkebunan menjadi tantangan tersendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun