Rizal Ramli tiba-tiba seakan  menjadi ahli ilmu Politik dan Hukum Tata Negara. Dia menggambarkan bagaimana contoh para presiden RI yang menjadi negarawan. Ukuran kenegarawanan tunggal yaitu mundur. Salah satu contoh yang disebut negarawan adalah seorang Bapak 'daripada' Soeharto.
Sayangnya RR tidak melihat salah satu alat ukurnya political behavior, bagaimana tingkah laku politik Soeharto dan Jokowi dalam memimpin dan mengelola negara secara politik.
Lalu penulis membayangkan dan berandai-andai Pak Jokowi akan meniru daripada  pak Soeharto dengan gaya senyumnya. Apakah arti sebuah senyum daripada Soeharto? Sulit ditebak.
Berapa banyak yang korban dalam G/30S/PKI untuk sebuah proses naiknya Soeharto menjadi pemimpin Indonesia? Lalu apakah sebanyak itu korban untuk menaikkan Pak Jokowi menjadi presiden?
Adakah yang berani mengkritik Soeharto? Ada. Bagaimana nasibnya? Jelas susah, kalau tidak mati. Bagaimana seorang Hoegeng mantan Kapolri yang dianiaya secara kehidupan. Pak Nasution, Ali Sadikin dan para penandatangan Petisi 50. Dan banyak lagi. Mungkin ini salah satu contoh tindakan negarawan yang dimaksudkan Rizal Ramli.
Bagaimana nasib Muchtar Pakpahan dkk yang berani mendirikan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI)? Dipenjarakan. Karena dibebaskan MA, dilakukan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum. Padahal PK itu hanyalah hak Terdakwa atau Penasehat Hukum menurut KUHAP. Ini menjadi jurispundensi yang aneh bin ajaib. Dalam dunia peradilan ini sebuah kehebohan. Namun MA juga harus mengikuti selera zaman, Muchtar Pakpahan harus dipenjara. Ini tindakan negarawan juga  Rizal Ramli?
Bagaimana nasib Yap Thiam Hien  alias "John" yang meninggal di Brussel, Belgia  ketika mengikuti pertemuan International NGO Group on Indonesia (INGI) sebagai mitra International Government Group on Indonesia (IGGI) lembaga donor pemberi pinjaman ke Indonesia. Sampai hari ini kematian misterius itu tak terungkap, setelah beliau memberikan pidato yang kritis kepada Mr 'daripada' Soeharto tentang pinjaman dan utang luar negeri.
Lalau bagaimana nasib para aktivis seperti Budiman Soejatmiko yang diadili dan di penjara? Bagaimana nasib Forum Kota yang dipelopori oleh Adian Napitupulu dkk? Bagaimana nasib para aktivis yang mengapung di kali Indramayu dan di kali yang lain?
Lalu bagaimana nasib para kritikus yang hilang entah kemana dan tak ada kabar beritanya. Adakah kritikus yang bisa hidup tenang dan bicara seenaknya kepada presiden dan menghinanya seenak perut? Nyaris tidak ada. Semua masuk dalam alam penyiksaan. Di penjara atau di luar penjara, kehidupannya teraniaya. Mati perdata, membunuh kesempatan berusaha. Titik nadir.
 Lalu bagaimana nasib Indonesia setelah tambang tembaga dan emas diberikan kepada Freeport Amerika? Apakah ini politik balas jasa atas bantuannya? Tambang emas dan tambang batubara diberikan ke asing sejak dikeluarkannya Undang-undang nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, ketika dia masih penguasa sementara, karena resminya sebagai presiden terpilih pada Sidang Umum MPR 1973.
Bagaimana kehidupan demokrasi seolah-olah (meminjam istilah alm Gus Dur) dari bangsa kita? DPR sebagai tukang stempel. Partai hanya Golkar dan partai pendamping  PPP dan PDI. Seperti kontraktor lelang saja ya. Pakai pendamping segala. Tapi namanya juga demokrasi seolah-olah.