Berita tentang meninggalnya empat orang dan  empat belas  ABK Cina asal Indonesia segera dipulangkan setelah karantina selama 14 hari di Korea Selatan tersebar dan viral. Mereka mengalami penyiksaan di kapal dan harus bekerja selama 18 Jam per hari dan bekerja berturut-turut dua hari. Selama 13 bulan berada di atas kapal di laut dan tidak turun ke pelabuhan. Wow, luar biasa penyiksaan dan pelanggaran hak dasar para ABK bangsa kita ini.
Belum cukup dengan pemulangan 14 ABK tersebut, sebelumnya 4 orang meninggal. Tiga orang meninggal diatas kapal dan dilarung atau dikuburkan di laut dengan membuang mayatnya ke laut. Dibuang dengan dilarung tentu saja harus berbeda. Syarat dilarung harus sesuai dengan standar ILO apa yang diatur dalam Seafarer's Service Regulation. Harus ada persetujuan keluarga, tidak ada tempat penyimpanan mayat dan karena diduga meninggal karena penyakit menular yang bisa menularkan dan membahayakan ABK yang lain. Satu orang lagi meninggal di Busan Korea Selatan setelah mereka diturunkan dan dirawat di Busan dan meninggal karena penyakit pneumonia.
Apakah tiga orang  ABK yang dilarung di laut itu sudah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh ILO? Apakah Kemenlu sudah cukup melakukan perlindungan terhadap ABK ini sebagai WNI yang bekerja di kapal asing? Pertanyaan ini bisa dianggap sepele, namun menjawabnya  bisa bertele-tele. Kenapa?
Perlindungan WNI di luar negeri mempunyai cerita duka yang panjang di negeri ini. Ketika musim Orde Baru, sempat TKI di luar negeri itu lepas dan tidak ada perlindungan. KBRI seakan tidak bertanggung jawab terhadap keselamatan TKI dan TKW kita yang ada dan bekerja  di luar negeri. Sangat miris. Para TKI dan TKW dianggap sebagai pahlawan devisa negara, dimana kiriman jutaan TKI dan TKW kita yang berjumlah ratusan miliar bahkan triliun rupiah per tahun ke negara kita tak menyadarkan negara untuk melindunginya. Uang kirimannya kita terima, orang bekerja keras yang mengirim uangnya kita tak peduli. Ironis.
Perkembangan kemudian,  memang menujukkan perkembangan atas  perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI). Perlindungan WNI dan BHI  mendapat perhatian dan bahkan sampai membentuk satu Direktorat Perlindungan WNI dan BHI di Kementerian Luar Negeri kita.
Namun pertanyaan kritisnya, apakah pembentukan Direktorat Perlindungan WNI dan BHI Kemenlu ini sudah menjamin perlindungan itu berlangsung dengan baik? Jawabannya bisa bertele-tele juga. Melihat visinya "Terwujudnya Pelayanan dan Perlindungan WNI dan BNI yang Berkwalitas" dan misi "Memberikan Pelayanan dan Perlindungan Yang Lebih Baik", motto "Kepedulian dan Keberpihakan, Â serta janji "Cepat, Ramah, Tanpa Pungutan dan Transparan", Â bisa saja secara das sollen atau seharusnya baik, namun apakah das sein atau kenyataannya demikian yang terjadi.
 Sekiranya das sollen terjadi dalam das sein, maka persoalan seperti kejadian yang menimpa ABK Kapal Cina asal Indonesia ini tentu saja tidak terjadi lagi. Namun kenyataan yang kita hadapi ini bukan saja jumlahnya secara kwantitas besar, namun secara kwalitas juga meningkat. Bukan saja penyiksaan dan perlindungan jam kerja serta hak dasar yang tidak terpenuhi, bahkan nyawa pun terbang dan dibuang atau dilarung di laut. Tanpa bekas, tanpa pusara. Mengerikan.
Padahal perlindungan WNI itu adalah amanat Konstitusi kita, Â yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang tidak bisa diubah tersebut. Dan bahkan dalam Nawacita pertama yang dicanangkan Jokowi Jusuf Kalla menyatakan yakni menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa.
Sejauh mana negara melakukan tugasnya melalui Direktorat Perlindungan WNI dan BHI Â Kementerian Luar Negeri menjalankan amanat UUD 1945 dan Nawacita pertama itu? Jika kita simak lebih lanjut prosedur pengajuan perlindungan dimana pemohon harus melakukan registrasi dan persyaratannya pemohon harus menyampaikan surat permohonan, maka bisa kita pahami bahwa Direktorat ini melalui KBRI atau Konjen sifatnya menunggu permohonan perlindungan. Dalam bahasa hukum pidana, maka ini adalah delik aduan. Artinya tidak ada delik, Â kalau tidak ada pengaduan. Tidak ada perlindungan, Â tanpa permohonan.
Mungkinkah para WNI seperti ABK ini melakukan pengaduan dengan permohonan perlindungan? Ini tentu sulit. Seperti kasus 14 ABK ini, bekerja selama 18 jam perhari dan selama 13 bulan di laut, bagaimana mau melakukan pengaduan? Ini tentu menjadi tantangan tersendiri yang harus dipikirkan bagaimana metode perlindungan ini dengan segala konsisi para WNI yang bekerja , khususnya ABK di kapal asing. Karena kapal berbendera asing, maka hukum yang berlaku di kapal tersebut adalah hukum negara dari pemilik kapal tersebut atau kapal itu berbendera negara mana.
Bagaimanakah mendekatkan para WNI itu dengan prosedur pengaduan masyarakat melalui kotak pengaduan, website atau telepon/fax, Â sehingga bisa dijangkau oleh para WNI yang berada di luar negeri? Inilah yang harus dicari metode dan bentuk pengaduan yang lebih mudah dijangkau.