Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, tidak ada cabang hukum Internasional yang lebih banyak mengalami perubahan secara mendalam dan revolusioner, selain hukum laut. Selama bertahun-tahun dan berabad-abad dunia semakin maju dan kebutuhan masyarakat internasional di seluruh dunia tumbuh, dan muncullah masalah Seperti eksploitasi sumber daya laut yang berlebihan yang sangat terasa menjelang pertengahan abad ke-20 dan banyak negara mulai merasa perlu untuk memastikan perlindungan sumber daya laut mereka, dan juga salah satu kasus mengenai klaim atas wilayah laut atas sebuah negara. Â
Contohnya klaim Cina atas Laut Natuna Indonesia. Laut Natuna merupakan laut yang berada di antara Asia Timur dengan Asia Tenggara. Luas Laut Natuna, yaitu 3,5 juta km dan dengan kedalaman sekitar 5.245 meter.Â
Laut Natuna merupakan kawasan perairan yang memiliki potensi yang sangat banyak dan besar karena terdapat sumber daya alam yang melimpah di dalamnya, serta Laut Natuna adalah laut yang sangat penting secara geopolitik.
Melihat luasnya kawasan Laut Natuna tersebut dewasa ini, beberapa negara, terlibat dalam upaya konfrontatif saling klaim, atas sebagian maupun seluruh wilayah perairan tersebut. Penyebab tumpang tindihnya klaim dari negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara disebabkan oleh status-quo kepulauan-kepulauan di wilayah Laut Natuna atas kepulauan yang berada di wilayah tersebut. Kepulauan Spratly diklaim oleh 6 negara, yakni Republik Rakyat China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei, dan Malaysia.Â
Kepulauan Paracel diklaim oleh Republik Rakyat China, Taiwan, Vietnam, dan Filipina. Tumpang-tindihnya klaim tersebut disebabkan oleh permasalahan kedaulatan teritorial yang membahas tentang kepemilikan wilayah daratan yang ada di kawasan Laut Natuna dan kedaulatan maritim yang berhubungan dengan penetapan batas yang diizinkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB ( UNCLOS III ) 1982.
Dalam kasus Natuna ini, sebenarnya Negara Indonesia berada dalam posisi yang kuat daripada Tiongkok yang hanya mendasarkan pada aturan Nine Dash Line itu. Karena perairan laut Natuna adalah berada pada wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Â Disamping itu, Tiongkok sering kali melanggar Zona Eksklusif perairan Indonesia dan juga kapal kapal Tiongkok yang masuk ke dalam wilayah perairan laut Natuna Indonesia tanpa seizin Indonesia.Â
Awal keterlibatan Indonesia di dalam konflik Laut Natuna pada era Orde Baru (sekitar tahun 1980), dengan kondisi hubungan diplomatik yang masih "beku" dengan Tiongkok, Indonesia menggunakan pendekatan yang tradisional terhadap konflik yaitu dengan mengirimkan kekuatan militer ke daerah perbatasan di Natuna, hal ini dianggap wajar karena ketika itu pemerintahan Indonesia lebih fokus pada masalah perbatasan dan teritorial.Â
Namun, hal tersebut berubah ketika salah satu negara yang terkena dampak dari konflik Laut Natuna ini adalah Negara Indonesia. Karena pada Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) berada pada wilayah laut Natuna yang masuk dalam peta klaim sepihak Cina.
Respon dan kebijakan terhadap klaim sepihak dari Cina ini direspon secara berbeda oleh pemerintahan Soesilo Bambang Yudoyono dan Pemerintahan Joko Widodo. Dalam beberapa penelitian ditemukan perbedaan tersebut pada bahwa pada penelitian Soesilo Bambang Yudoyono respon dan kebijakan cenderung datar, mendorong upaya-upaya perdamaian Kawasan dengan perundingan-perundingan dan Kerjasama internasional.
Sedangkan pemerintahan lebih tegas dengan mempersiapkan antisipasi pertahanan keamanan, kemaritiman serta tetap mengusahakan diplomasi-diplomasi lagsung maupun tidak langsung. lik laut cina selatan berangkat dari politik luar negeri pemerintah, yang tentu mengalami dinamisasi sesuai dengan pemerintahan yang sedang berkuasa.Â
Politik bagi suatu negara adalah lanjutan dan refleksi dari politik dalam negeri. Kebijakan politik luar negeri sebagai cerminan politik dalam negeri, sehingga apabila politik domestiknya tidak ada arah yang jelas dan banyak mengandung ketidakpastian di tingkat nasional, akan sulit merefleksikan pada tingkat internasional.