“Kalau hanya rupa yang membuat hatimu jatuh cinta, maka bagaimana kau bisa jatuh cinta dengan Tuhan yang tidak berupa.”
Begitulah kata Semar dalam sebuah cerita pewayangan. Entah Semar sebagai sebuah lakon dalang, atau Semar yang diceritakan dalam buku. Darimanapun sumbernya, yang jelas kalimat tersebut adalah ungkapan khas-nya Semar. Karakternya yang penuh dengan sifat Ilahiah.
Daridulu, aku selalu dapati makna ungkapan “Jangan melihat sesuatu hanya dari tampilan luarnya”, atau “Don’t judge a book by it’s cover”, atau cerita “The Ugly Duck” karya Hans Christian Andersen yang begitu terkenal. Dari semua itu, maknanya sama, jangan kita nilai sesuatu hanya dari rupa. Ah, rupa….
Perempuan dan Laki – laki yang indah rupanya, mungkin memang sudah trah mereka untuk dilihat. Dan dinikmati…
Itu wajar. Kewajaran yang hakiki. Kewajaran yang manusiawi. Tuhan adalah segala sesuatu yang indah, atau kita buat indah. Maka nikmatilah.
Dan Tuhan yang tidak berupa adalah mungkin memang bukan untuk dilihat, tapi dirasakan dalam segala keterbatasan diri.
Ya, kita akan selalu mabuk dalam rupa. Mabuk atas apa yang bisa dilihat.
Karena rupa akan selalu bisa menimbulkan rasa. Apapun rasanya.
Haruskah kita me “rupa” kan Tuhan untuk mampu merasakannya?
Jawabku adalah Tidak. Bukankah itu pemahaman yang dangkal jika Tuhan sudah ada pada setiap apapun yang be “Rupa”. Tuhan ada pada apapun yang mampu memberikan kita rasa.
Tuhan ada pada setiap laku kita yang menyamankan dan merusak.
Tuhan ada pada Ibu kita, Tuhan ada pada Bapak kita,
Tuhan ada padamu sebagai laki – laki, dan Tuhan ada padaku sebagai perempuan.
Setiap jengkal diri kita adalah “perupaan Tuhan”, dan setiap tindakan kita adalah wujud rasa kita kepadaNya.
Dan seindah – indahnya laki – laki; seindah – indahnya perempuan, adalah yang mampu membuat kita merasakan Tuhan.”
nCalon MT ( Sidoarjo, 9 Maret 2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H