Mohon tunggu...
Mustafa Kamal
Mustafa Kamal Mohon Tunggu... Guru - Seorang akademisi di bidang kimia dan pertanian, penyuka dunia sastra dan seni serta pemerhati masalah sosial

Abdinegara/Apa adanya

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ternyata Harus Kawin Dulu Sebelum Nikah

7 September 2011   05:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:10 11419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yup, Harus KAWIN dulu sebelum NIKAH? mungkin banyak yang menentang, bilang saya sesat? melecehkan agama, aliran setan mana pula yang diikuti.....hahahaha......pokoknya nantik akan saya jelaskan, jadi mari kita dengarkan penjelasan saya berikut ini...

Sebagai salah seorang "tokoh masyarakat" di kompleks saya tinggal ...waaah berat nih....padahal ini cuma gara2 status "pendidik" maka masyarakat menganggap kita banyak tahu, lebih bijaksana, tempat bertanya, tempat minta pertimbangan, jadi imam masjid, dan sebagainya. Memang Status "pendidik" membuat sesorang menjadi begitu dihargai di masyarakat. Apakah dia guru, dosen, uztad/uztadzah......masyarakat akan menghargai statusnya, tapi juga harus diiringi dengan "kepribadian" yang baik, luwes, punya sense of social,  sopan dan ramah di masyarakat....mungkin ini barangkali yang membuat saya begitu dihargai...ciiiaah..hahay...padahal jujur saya belum ada apa-apanya dan masih harus banyak belajar serta berbenah diri.......hehheheh

Baiklah langsung ke topik, suatu hari seorang perempuan karyawati pabrik di kota saya yang ngekos didepan rumah bertanya pada istri saya dan minta pertimbangan saya melalui istri saya bahwa dia mau menikah namun dia punya orangtua yang jauh di NTT sana, kurang mampu, sehingga tidak ada biaya untuk kesini.  Apakah dia bisa menikah dengan wali nikah dan apakah pejabat KUA akan mengizinkannya? karna ada kasus penikahan temannya batal gara-gara KUA meminta untuk menghadirkan orangtuanya, karena tidak ada biaya akhirnya dibatalkan....(Entah benar ceritanya saya kurang yakin juga, apalagi dizaman yg serba canggih ini, surat menyurat dan komunikasi sudah lancar)

kedua, kasus perceraian suami -istri, dimana si bapak sudah tidak tahu menahu lagi dengan anak perempuan yang ditinggalkannya. Padahal secara agama Bapak adalah urutan pertama tentang wali nikah. Pihak si ibu pun sudah tidak ingin berhubungan lagi dengan si bapak yang menceraikannya karena wanita lain. artinya kedua hubungan keluarga ini sangat rumit. sehingga anak gadisnya menjadi korban. pihak ibunya "kukuh" tidak ingin berhubungan lagi dengan mantan suaminya. Ketika ini diproses di KUA, pejabat KUA tetap meminta bapaknya yang menjadi wali nikahnya, karena bapaknya masih diketahui keberadaanya.

ketiga kasus, istri yang ditinggal pergi suaminya mungkin merantau mencari penghidupan yang layak. Kemudian , si suami tidak ada lagi kabar berita apakah sudah meninggal, kalo benar tidak tahu dimana kuburnya, atau masih hidup entah dimana rumahnya. Informasi yang didapat simpang siur ada yang mengatakan si suaminya sudah kawin lagi dengan orang lain, ada yang bilang si suami sudah merantau jadi TKI ke luar negeri. Namun pihak keluarga istri tidak peduli dan berusaha "legowo" kalo dia ingat istri yang dinikahinya secara sah dia pasti pulang, kalo tidak pulang ya tidak apa, tidak akan dicari. Dalam kasus ini anak gadisnya yang dia tinggal kemanakh jatuh hak perwaliannya jika ingin menikah? apalagi silsilah ayahnya yang pergi itu tidak diketahui lagi.

Sebenarnya banyak kasus di masyarakat, kasus anak yang lahir di luar nikah, kasus anak hasil perkosaan, kasus anak yang orangtuanya tidak mengakuinya, kasus janda yang ingin kawin lagi tapi orangtuanya sudah tidak ada ....dan lain-lain.  Semuanya itu sebenarnya sudah diatur dalam Hukum  islam , dan Islam tidak pernah memberatkan orang-orang yang ingin menikah secara sah. Berikut tulisan dari guru besar IAIN Antasari Banjarmasin bapak H M Asywadie Syukur tentang wali nikah dalam pernikahan:

Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang berbeda
dengan perjanjian lainnya karena perjanjian perkawinan
memiliki rukun-rukun yang tidak ada pada perjanjian
lainnya, antara lain perjanjian perkawinan baru
dianggap sah apabila adanya izin wali. Wali adalah
orang yang mempunyai wewenang untuk mengawinkan
perempuan yang berada dibawah perwaliannya dimana
tanpa izinnya perkawinan perempuan itu dianggap tidak
sah.
 
Dalam fikih, dikenal istilah wali nasab, yaitu orang
yang mempunyai hubungan dengan perempuan yang dibawah
perwaliannya, yang urutannya sudah ditentukan dalam
fikih Islam. Apabila wali nasab tidak ada atau dalam
keadaan tertentu, maka kekuasaan wali berpindah kepada
hakim yang dinamakan dengan wali hakim. Pertanyaannya
sekarang, kapan wali hakim boleh tampil sebagai wali
nikah ? dan siapa yang menjadi wali hakim tersebut ?
 
Wali hakim pertama 
 
Setelah agama Islam berkembang di Mekkah, orang-orang
Quraisy merasakan adanya ancaman terhadap kekuasaan
mereka di Mekkah, karenanya mereka mulai melacarkan
berbagai gangguan dan penghinaan kepada Nabi Muhammad
SAW dan memperhebat siksaan diluar perikemanusiaan
terhadap umat Islam. Nabi SAW kemudian menyuruh umat
Islam berhijrah ke Habsyah pada tahun kelima kenabian.
Berangkatlah rombongan yang pertama yang terdiri dari
sepuluh orang pria dan empat orang wanita, diantaranya
Utsman bin Affan dengan istrinya Rukayyah (puteri
Nabi), Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan
Ja’far bin Abu Thalib. 
 
Rombongan yang kedua terdiri dari delapan puluh tiga
pria dan tujuh belas wanita (Hayat Muhammad : 154).
Dalam rombongan kedua ini, ikut serta Ubaidillah bin
Jahasy dengan istrinya Ramlah binti Abi Sofyan.
Setelah beberapa bulan di Habsyah, Ubaidillah bin
Jahasy merubah agamanya menjadi pemeluk agama Nasrani,
namun tidak berapa lama ia meninggal. Istrinya, Ramlah
tinggal di Habsyah tanpa ada yang membiayai, maka
Negus (raja) Habsyah yang sudah memeluk agama Islam
mengirim surat kepada Rasulullah agar bersedia
mengawini Ramlah dengan mahar sebesar 4000 dinar dan
Rasulullah menerimanya. Yang bertindak sebagai wali
nikah Ramlah adalah Negus Habsyah karena Ramlah tidak
mempunyai wali nasab di Habsyah. Baru kemudian, pada
tahun ketujuh hijriah, Surahbil bin Hasanah membawa
Ramlah ke Medinah dan merubah namanya menjadi Ummu
Habibah (Tarikhu al Islam al Siasi I: 90).
 
Abu Dawud dalam Sunnannya mengabadikan peristiwa ini
dalam tiga buah riwayat yang diterimanya dari Ummu
Habibah. Inilah wali hakim pertama dalam sejarah Islam
yang terjadi di Habsyah. Peristiwa ini terjadi dalam
perkawinan Rasulullah SAW sendiri dengan istrinya yang
bernama Ummu Habibah, yang pada waktu itu menjadi
salah seorang yang berhijrah ke Habsyah untuk
menyelamatkan agamanya.
 
Kedudukan 
 
Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan wali
dalam perjanjian perkawinan. Menurut Mazhab Hanafi
perizinan wali bukan merupakan persyaratan syah nikah
tetapi hanya penyempurna perjanjian perkawinan.
Alasannya adalah dari riwayat Muslim dari Ibnu Abbas
yang katanya Rasulullah SAW bersabda yang artinya
"Perempuan yang janda lebih berhak atas dirinya dari
walinya. Gadis diminta perizinannya dan perizinannya
adalah diamnya". Menurut mazhab Hanafi, hadits di atas
menerangkan sah pernikahan baik janda maupun perawan
tanpa disyaratkan adanya perizinan wali, karena itu
mereka menganggap izin wali bukan termasuk syarat sah
nikah.
 
Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali menganggap
perizinan wali merupakan syarat sah perjanjian
perkawinan dimana perkawinan tanpa izin wali adalah
tidak sah. Pendapat ini beralasan pada Al Qur’an dan
hadits. Dari ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil
antara lain pada QS. al Baqarah ayat 232 yang artinya
: "Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis
iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi
mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila
terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang
ma’ruf...".
 
Imam Bukhari meriwayatkan tentang sebab turunnya ayat
di atas ialah karena ulahnya Ma’qal bin Yasar yang
mengawinkan saudarinya dengan seorang lelaki kemudian
diceraikan oleh suaminya. Sesudah masa iddahnya habis,
datang bekas suaminya ingin mengawini kembali, namun
Ma’qal melarang dan bersumpah tidak akan mengawinkan
saudarinya itu dengan bekas suaminya tadi. Turunlah
ayat di atas menegur tindakan Ma’qal yang kedudukannya
sebagai wali dan akhirnya Ma’ qal membayar kafarah
atas sumpahnya.
 
Di dalam beberapa buah hadits dijelaskan tentang wali
hakim yang dapat menggantikan kedudukan wali nasab
apabila wali nasab tidak ada atau wali nasab enggan
mengawinkan perempuan yang ada dibawah perwaliannya,
padahal perjodohan antara keduanya seimbang.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya : "Maka apabila
(wali nasab) enggan sulthanlah yang menjadi wali bagi
yang tidak mempunyai wali" (HR. Abu Daud, Tirmidzi,
Ibnu Majah dan Ahmad dari Aisyah).
 
Yang dimaksud dengan kata "Sulthan" adalah pejabat
tertinggi dalam negara seperti dalam contoh terdahulu
Negus, selaku kepala negara Habsyah. Karena itulah,
penulis kitab Subulu as Salam berkata : "Yang dimaksud
dengan sulthan adalah mereka yang mempunyai kekuasaan,
baik ia zalim maupun adil karena hadits-hadits yang
memerintahkan mentaati sulthan bersifat umum, mencakup
sulthan yang adil maupun yang zalim" (Subulu as Salam
III : 118).
 
Penulis ‘Ianatu al Thalibin mengatakan : "Imam Akbar
(kepala negara) tidak menegahnya menjadi wali karena
kefasikannya, sesuai dengan pendapat yang sahih"
(‘Ianatu al Thalibin III : 305). Adapun penulis kitab
An Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sulthan disini
ialah imam akbar (kepala negara) atau hakim atau siapa
saja yang dilimpahkan wewenang oleh keduanya menjadi
wali ketika tidak ada wali khusus/wali nasab (An
Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi : 508). 
 
Jadi, orang yang ditunjuk oleh pemerintah adalah wali
hakim bagi orang yang tidak mempunyai wali dan orang
yang tidak ditunjuk oleh pemerintah tidak berhak
menjadi wali hakim.
 
Tidak ada wali 
 
Dari hadits di atas diungkapkan bahwa wali hakim dapat
tampil sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada
atau wali nasab enggan mengawinkan perempuan yang
berada dibawah perwaliannya. Lebih lanjut, penulis
kitab An Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi
menulis bahwa sulthan hanya mengawinkan wanita
balighah dikala tidak ada wali atau walinya enggan
atau walinya berada di tempat lain atau apabila
walinya sendiri yang ingin mengawininya seperti anak
paman wanita itu atau bekas tuannya atau qadhi (An
Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi : 503). Pada
bagian lain, ia menulis bahwa sulthan mempunyai hak
untuk mengawinkan apabila wali berada pada jarak jauh
yang membolehkan sembahyang qashar atau apabila wali
dalam keadaan berihram (.An Nikahu wa al Qadhaya al
Muta’aliqah bihi : 504).
 
Demikianlah, dari beberapa kutipan tadi diketahui
bahwa wali hakim itu ialah pejabat tinggi negara
(kepala negara) atau pejabat yang ditunjuk untuk tugas
itu dari kepala negara atau pejabat yang menerima
pelimpahan tugas itu. Persyaratan yang harus ada pada
wali hakim tidak seperti syarat yang harus ada pada
wali nasab, karena seorang kepala negara yang zalim
masih berhak menjadi wali bagi orang yang tidak
mempunyai wali.
 
Jadi, keadaan yang dapat memungkinkan wali hakim
sebagai wali nikah adalah wali nasab tidak ada sama
sekali ; wali nasab enggan padahal keduanya sekufu ;
wali nasab berada di tempat yang jauh sekitar 95 Km
dari tempat wanita yang ingin menikah ; wali nasab
dianggap hilang atau tidak diketahui keberadaannya,
hidup atau matinya ; calon suami juga adalah wali
nikah perempuan; wali nasab dalam keadaan berihram
haji atau umrah.
 
Wali hakim di Indonesia
 
Yang menjadi wali hakim dalam negara RI adalah
presiden, yang melimpahkan wewenangnya dalam masalah
wali ini kepada Menteri Agama (karena menyangkut
urusan agama) dan Menteri Agama melimpahkannya kepada
aparatnya yang terbawah melalui tauliyah.
 
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ada beberapa
pasal mengenai wali hakim. Dalam pasal 1 sub b
diterangkan : "Wali hakim ialah wali nikah yang
ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk
olehnya, yang diberi hak dan wewenang untuk bertindak
sebagai wali nikah".
 
Dalam pasal 23 diterangkan: (1) Wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak
ada atau tidak mungkin menghadirkannya, atau tidak
diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau
enggan, (2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali
hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah
ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Jadi, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mengikuti
pendapat jumhurul ulama yang mengatakan wali sebagai
syarat sahnya pernikahan, yang apabila tidak ada atau
pada keadaan tertentu, maka wali hakim dapat tampil


sebagai wali nikah.

Nah dari uraian diatas jelaslah kita harus KAWIN (Kepastian Akan Wali Nikah) dulu, baru kita bisa menikah dengan sah secara ajaran agama.  Semoga Tulisan diatas bisa menjawab semua pertanyaan dan kasus yang mungkin sering kita hadapi dalam masyarakat. Masalahnya kadang kita malu bertanya ke pejabat KUA, atau ada oknum KUA yang kadang terlalu "ketat" mungkin karena berpedoman hanya kepada salah satu mahzab. Semua kita serahkan pada Allah SWT . Semoga tidak ada lagi anak -anak gadis yang tak bisa menikah hanya gara-gara masalah wali nikah dan pihak KUA bisa lebih bijaksana dalam memberi pertimbangan dan keputusan.Semoga bermanfaat!

ditunggu pendapat dan komentar teman2 kompasiana, beserta vote nya...heeh...salam kompasiana!


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun