Dalam jumpa pers yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan, di kantor Kemendikbud, Jakarta, Jumat (23/1/2015) lalu disebutkan tiga hal penting terkait Ujian Nasional (UN) Tahun 2015.
- UN tidak untuk kelulusan. Sekolah sepenuhnya diberikan kewenangan mempertimbangkan seluruh aspek dari proses pembelajaran, termasuk komponen perilaku siswa untuk menentukan lulus tidaknya mereka dari jenjang pendidikan tertentu.
- UN dapat ditempuh lebih dari sekali. “Bagi mereka yang hasilnya kurang, punya kesempatan memperbaiki dan mengambil ujian ulang. Karena tujuan UN kan bukan menjadi hakim, tapi alat pembelajaran. Kita ingin mengubah UN dari sekadar alat menilai hasil belajar, tetapi alat untuk belajar
- UN wajib diambil minimal satu kali oleh setiap peserta didik. “Tahun ini kita tidak menyelenggarakan ujian ulang, karena 2015 ini transisi. Konsep ini akan diterapkan tahun depan. Bagaimana caranya? Awal semester akhir peserta didik sudah dapat mengambil UN. Dan bila diperlukan ada perbaikan, maka mereka bisa melakukan perbaikan di akhir semester akhir. Tapi ini baru bisa diterapkan di 2016
(Sumber. Laman Fanpage FB Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI)
Dari penjelasan resmi mendikbud tersebut sudah jelas keputusan pemerintah adalah keputusan kelulusan siswa dikembalikan ke sekolah tempat para siswa/i menjalani pendidikannya. Nah, pertanyaannya apakah sekolah akan berani jujur dengan hasil yang dicapai anak didiknya? Terutama bagi sekolah yang terbiasa melakukan kecurangan agar anak didiknya lulus 100% untuk menyenangkan hati pemerintah daerah setempat.
Beberapa tahun belakangan kita menyaksikan banyak berita tentang berbagai kecurangan yang dilakukan sekolah, mulai dari memobilisasi guru untuk mengerjakan soal UN dan mendistribusikannya ke seluruh siswa, bekerjasama dengan petugas polisi penjaga soal UN, pengawas lintas sekolah dan pengawas indepen dari perguruan tinggi untuk menutup mata bila ditemukan kecurangan pada pelaksanaan UN, dan lain sebagainya.
Sekolah tertekan dengan target yang ditetapkan oleh pemerintah setempat. Akhirnya anak-anak yang sebenarnya tidak pantas untuk lulus karena pencapaian kompetensinya yang kurang, prilakunya yang buruk, dan seharusnya memerlukan tambahan waktu pembinaan alias tidak lulus, terpaksa diluluskan untuk mencapai target pemerintah daerah tersebut.
Belum lagi tekanan dari orangtua/wali yang kini mulai berani mendikte sekolah karena "dimanjakan" penguasa pemerintah daerah setempat demi kelanggengan kekuasaannya. Misalnya anaknya seharusnya tinggal kelas, tapi akhirnya dinaikkan karena ortu mengancam anaknya tidak mau sekolah lagi kalau tinggal kelas, dan akan berhenti sekolah. Lalu laporan masuk ke Dinas/bupati anaknya berhenti sekolah, ujung-ujungnya kepsek diintimidasi bahwa sekolah dan guru-gurunya tidak becus mendidik dan sebagainya, akhirnya karena kepsek takut jabatannya dicopot atau dimutasi akhirnya meminta guru menaikkan saja anak yang dimaksud.
Seharusnya kita semua menyadari sekolah adalah tempat pembinaan siswa. Mulai dari Bina ilmu, Bina Skill, bina akhlak dan budi pekerti dalam rangka menciptakan generasi yang kompeten dan berakhlak mulia. Jika ada anak didik yang belum siap untuk diluluskan karena belum memenuhi komptensi dan akhlak yang kita harapkan seharusnya pemerintah tidak perlu campur tangan dan orangtua harus mendukung penuh demi perbaikan anak mereka.
Kini, Kewenangan sekolah sudah kembali diberikan! Pemerintah daerah harus mengikuti. Pemerintah daerah cukup sebagai pengawas apakah proses pembinaan sudah berjalan sebagaimana mestinya disekolah sesuai rambu-rambu yang sudah ditetapkan.
Selanjutnya tentunya yang paling penting dilakukan pemerintah daerah adalah melengkapi segala fasilitas sekolah untuk mencapai target pendidikan tersebut. Selebihnya biarkan anak kita berjuang dengan pembinaan oleh guru-guru mereka untuk mencapai kompetensi yang diharapkan tersebut! Kelak, mereka akan menikmati hasil manisnya perjuangan tersebut!
Tapi, kalo mereka anak-anak muda itu terus saja diberi berbagai kemudahan, dispensasi dan sebagainya sejak dini mulai dari sekolah, maka kelak hidup juga akan seperti itu. tidak mau kerja keras dan suka mencari jalan pintas!
Akhirnya, mari kita lihat apa yang akan terjadi di 2015 ini. Apakah pertaruhan Anies Bawesdan ini dengan tujuan agar pendidikan betul-betul jujur tidak menyimpang dengan segala kecurangan benar-benar terlaksana!