Penulis sudah hampir lima tahun bertugas di Desa Malang rapat, Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Hari-hari menyaksikan puluhan kelong bertebaran di laut Bintan. Setiap pagi para nelayan menjemur ikan bilis sejenis ikan teri di sepanjang jalan desa hasil dari melaut dengan kelong.Â
Bentuk Kelong milik nelayan tersebut di awal bertugas memang terlihat aneh, sebab tidak pernah dilihat di daerah lain. Hanya saja keunikan tersebut tidak begitu dihiraukan, dianggap saja suatu keunikan biasa masing-masing daerah. Seiring waktu, penulis mendengar perbincangan warga kalau ternyata harga kelong tersebut seharga mobil bisa mencapai 150 juta Rupiah!Â
Penulis terkejut. Ah apa iya? Terus apa sanggup nelayan yang hidup seadanya tersebut mampu membeli Kelong seharga tersebut. Penulis pun tergerak untuk menelusuri lebih jauh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pertama sekali ditemani salah seorng warga penulis berkunjung ke rumah pembuat Kelong Khas bintan tersebut. Pembuatnya Pak Wa bersaudara orang bersuku Tiongha yang tinggal di rumah sederhana di Desa Pengudang.Â
Mereka pun sudah berbulan-bulan tidak lagi membuat Kelong, pasca penangkapan kayu yang didatangkan salah satu pengusaha Kelong yang ternyata ilegal atau tidak lengkap administrasi. Mereka yang memesan Kelong kini tidak bisa lagi dilayani. Mereka hanya menerima jasa perbaikan Kelong dari para pemilik Kelong. Puluhan kelong yang ada di laut sekarang itupun kebanyakan Kelong lama yang sudah berumur 3-7 tahun.Â
Dari tempat beliau penulis berkunjung ke lokasi pembuatan kelong. Di lokasi tersebut sudah ada empat kelong yang naik ke darat untuk diperbaiki. Disana penulis berjumpa dengan Pak Mun yang sedang memperbaiki Kelongnya. Dari Pak Mun menulis mendapat cerita banyak tentang Kelong.Â
Untuk naik kelong banyak pantangan yang harus dijaga, di antaranya wanita yang lagi haid tidak boleh naik ke kelong, tidak boleh bawa sandal dari darat, kecuali sandal yang memang disiapkan dikelong, perbanyak berdoa, sebelum Kelong turun ada upacara khusus seperti menyediakan nasi kuning, daun-daunan khusus, air yang didoakan  dan lain sebagainya.Â
Kelong-kelong yang ada dilaut sekarang ini ternyata sebagian besar bukan milik nelayan setempat, Kelong itu dimiliki oleh orang-orang tertentu saja karena harganya yang sangat mahal. Kebanyakan pemilik Kelong kalau tidak"Toke Tiongha" begitu masyarakat setempat menyebutnya, selebihnya adalah sebagian kecil milik nelayan setempat yang cukup berada.Â
Kelong-kelong Milik Toke Tiongha dioperasikan oleh masyarakat setempat atau pendatang dari luar pulau Bintan dengan sistem bagi hasil 50:50, sedang yang milik nelayan setempat biasanya dikelola sendiri. Satu Toke Tiongha bisa punya 10 sampai dengan 20 buah kelong, sedang yang milik nelayan setempat paling hanya satu atau dua buah saja.Â
Penulis, berkesempatan untuk menjajal kelong yang dikelola oleh Pak Mun ini ke tengah lautan. Sembari meluat beliau bercerita Kelong beliau ini adalah milik orang Kijang. Kelong ini dulu dibeli seharga Rp. 110 juta rupiah oleh pemiliknya. Selain itu kita juga harus punya kapal kayu untuk penarik kelong ke laut, harganya sekitar 30- 40 juta rupiah. Dalam satu tahun Kelong hanya beroperasi selama delapan bulan saja. Selama empat bulan Kelong istirahat melaut karena musim hujan dan badai. Tangkapan utama kelong adalah ikan bilis atau ikan teri, selebihnya bisa juga dapat ikan, sotong dan lain-lain.